Replacement 1

1.5K 185 19
                                    

(Please, do read author's note once you've finished ^^)

Ribut suara benda-benda keras yang dilempar itu perlahan menarikku dari dunia mimpi yang selalu menjadi tempat favoritku. Satu persatu aku kumpulkan kesadaranku sambil bergelut di bawah selimut. Pipi kiriku terasa panas dan semakin nyata rasa perih di punggungku. Dengan berat kubuka kelopak mataku yang seketika menangkap sinar matahari yang silau menembus kaca jendela.

Entah jam berapa sekarang dan dinding kamarku sudah bergetar. Ku putar tubuhku untuk membelakangi jendela, masih enggan menyapa pagi. Alih-alih menghindari sinar matahari, mataku menemukan sosok mama yang masih setengah terbungkus selimut, hanyut dalam sungai mimpi. Berkali-kali sudah aku menyaksikan mama dalam keadaan tanpa perlindungan seperti ini. Tapi napasku tetap tercekat dan dadaku sesak. Aku masih belum mampu melihatnya bahkan setelah malam-malam itu.

Baru saja aku akan membenamkan wajahku ke bantal, tangan mama tiba-tiba menepuk kepalaku. "Jeonghan, suruh adikmu diam. Mama harus siap-siap satu jam lagi," suruhnya masih setengah sadar. Suara jeritan diikuti bunyi benda-benda pecah yang merusak ketenangan pagi itu memaksaku untuk segera bangkit.

Tanganku yang masih diselimuti kantuk meraih celana pendek di lantai dan memakainya. Mataku menangkap bungkus plastik putih di atas meja dekat pintu, berisi obat penambah darah yang diberi Seungcheol tiga minggu yang lalu.

Sambil menenteng kantong plastik itu kubawa kakiku melangkah keluar kamar. Suara jeritan itu semakin jelas terdengar dari kamar sebelah. Anak ini benar-benar merepotkan. Pintu kayu itu aku tendang beberapa kali dan suara berisik itu seketika hening. Beruntung aku hari ini tidak perlu mengomelinya pagi-pagi.

Di dapur, obat penambah darah dari Seungcheol aku minum tanpa pikir panjang. Jika aku tidak menuruti perintahnya, akan sulit untuk bekerja hari ini karena anemia. Meski hanya memakai celana pendek tanpa atasan apapun, pendingin ruangan di apartemenku tidak cukup dingin untuk membuatku menggigil. Mataku kosong memandang keran air sambil merasakan obat itu masuk dalam kerongkonganku, sehingga tanpa aku sadari seseorang tengah berdiri di belakangku.

"Lapar," kata itu terucap lirih dan datar namun tetap membuatku kaget setengah mati.

Kupalingkan badanku untuk mendapati adik laki-lakiku satu-satunya menatapku tanpa ekspresi. Bajuku yang kebesaran menggantung di badan adikku yang sedikit lebih pendek, hampir menutupi celana kain selututnya. Rambut coklatnya acak-acakkan, mungkin mama belum memandikkannya kemarin. Seperti yang kuduga, ada memar di dahinya dan luka-luka sayatan yang masih segar dan sedikit berdarah di lengan dan kaki, bekas keributan yang dibuatnya pagi-pagi.

"Sudah kubilang aku nggak bisa masak. Tunggu mama bangun," balasku sambil melewatinya, berniat melanjutkan tidurku di sofa ruang tamu barang sebentar.

Rupanya adikku itu pantang menyerah. Baru beberapa langkah jarakku darinya dan sesuatu yang keras menghantam kepalaku. Kulihat gelas plastik yang baru aku pakai untuk minum tadi sudah berada di lantai. Tentu saja ini ulah adikku yang tidak tahu sopan santun.

Aku berbalik cepat sambil mengangkat tanganku tinggi-tinggi. Telapak tanganku perih ketika bertemu dengan pipinya dan suaranya bergema di dapur. Satu kali tamparan di wajahnya itu sebenarnya tak cukup memuaskan kekesalanku. Ingin sekali kucabik-cabik mukanya yang menantangku. Ini hal biasa, kan? Pertengkaran antara kakak-beradik itu sudah lumrah, iya kan?

Badan adikku terbilang sedikit lebih pendek dibanding teman sebayanya. Bahunya yang kecil membuat adikku terlihat lemah dan perlu dilindungi. Wajahnya juga seperti malaikat kecil tanpa dosa, hanya ketika dia tidak membuat masalah. Ia diberi nama Yoon Jihoon oleh papaku. Umurnya 16 tahun dan sekarang dia menangis sejadinya di lantai. Tangannya terkepal menutupi wajahnya yang banjir air mata. Sambil menjerit ia menendang kaki meja makan.

Blood VowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang