Red Lines

1.1K 165 21
                                    

    Langkahku goyah ketika pantulan diriku samar terlihat di cermin yang berembun. Di bawah mataku kantung hitam yang sedikit bengkak. Kaos yang aku kenakan terlihat lusuh menutupi pangkal pahaku yang nyaris penuh memar. Rambutku kuikat asal dengan karet yang aku bawa ke kamar mandi. Aku berjengit ketika pantatku menyentuh toilet duduk yang dingin, mengepal erat sebuah gunting yang baru-baru ini menjadi temanku.

    Gunting favoritku punya handle plastik berwarna hitam. Ukurannya sedang dan matanya tak lagi setajam yang baru. Tapi ketika mata gunting itu menyentuh kulitku, sekujur tubuhku memanas dan adrenalin mengalir di setiap pembuluh darahku.

    Hari itu aku berencana kencan dengan guntingku lagi. Lengan kaosku aku singsing sampai ke siku dan aku mulai berpikir, dimana lagi bagian tubuhku yang belum dihiasi. Mungkin di lengan atasku yang selalu tertutup baju, atau perutku yang juga jarang dilihat kecuali 'teman-temanku'. Mataku turun ke pangkal pahaku yang pucat, selamat dari memar.

    Aku menghela napas ketika ujung logam yang dingin itu menyentuh pahaku. Mata gunting favoritku bergerak di kulitku membentuk garis merah memanjang. Rasa perih yang menyengat memaksaku mataku untuk menutup dan tanganku gemetar oleh adrenalin. Cairan kental mengalir di pahaku membentuk garis yang lebih panjang sebelum menetes di lantai keramik.

    Sejenak aku seolah mati rasa. Pikiranku kosong, diam menonton darah yang kian menetes.

    Rasa sakit kini menjadi candu bagiku. Setiap hari aku rindu dengan sensasi kulitku yang dirobek dan aliran darah yang menggelitik indera perabaku. Garis-garis memanjang berwarna putih menghiasi kulit perut dan lenganku, beberapa berwarna merah dan kadang nakal tak mau sembuh.

   Pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka. Sosok di ambang pintu membuatku tak sanggup bergerak bahkan untuk mengambil napas. Aku tak sempat menurunkan kaos dan menyembunyikan gunting ketika sosok itu mendekat.

    Pipiku panas. Tubuhku oleng ketika wajahku ditampar untuk yang kesekian kalinya. Tangan itu mencengkeram rahangku dan memaksaku untuk mendongak.

    "Dasar anak kurang ajar! Apa kata mama? Laki-laki itu bajingan semua!" amuk mama. Wajah mama memerah dan air mata menggenang di sudut matanya. Diraihnya tanganku sambil berteriak, "Lihat ini, Jeonghan! Kamu dibodohi oleh laki-laki itu! Apa bedanya dia dengan papamu?!"

    Aku tak sanggup melawan ketika mama menyeretku keluar kamar mandi. Di dorongnya tubuhku ke samping tempat tidur dan dibukanya kemejaku dengan paksa, menyisakan boxer yang sedikit basah.Selimutku aku genggam erat-erat ketika cambuk mama mendera punggungku. Perih pangkal pahaku tak sebanding dengan rasa sakit yang menyengat karna dicambuk.

    "Ayo minta maaf, Jeonghan! Katakan pada mama kalau kamu sudah salah!"

    "Aku salah, ma! Aku salah!!!" jeritku.

    Mama berhenti mengayunkan cambuknya dan berlutut di sampingku. Diraihnya wajahku, ada senyum mengerikan di wajahnya ketika aku balas menatap. Tapi sebelum mama sempat membuka mulut, aku lebih dulu berbicara.

    "Tapi selama aku bisa mengingat Seungcheol, akan kulakukan dosa ini."

    Wajah mama kembali memerah. Tubuhku ditarik paksa olehnya ke atas ranjang. Seketika satu-satunya kain yang menutupi tubuhku di lempar ke sembarang arah. Tanpa aba-aba mama mulai meyentuhku dengan cara yang tidak senonoh.

    Bantalku aku genggam erat, seolah hidupku bergantung padanya. Sambil bergerak diatasku, mama berulang kali menyuruhku untuk melupakan Seungcheol seolah itu adalah mantra. Aku hanya mampu pasrah karna jika aku melawan, aku harus menyakiti mama.

    Kututup mataku rapat, mengusir bayangan mama seperti biasa. Tapi yang muncul dalam gelapnya penglihatanku juga bukan sosok yang aku harapkan. Teringat olehku wajah Seungcheol ketika aku melakukan ini dengannya.  Kontur wajah Seungcheol, garis rambutnya, kata-kata manisnya dan janji yang dibuatnya. Semua terekam jelas dalam benakku.

Blood VowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang