Vows

1.9K 226 17
                                    

Sayup-sayup kudengar suara orang berbincang-bincang dan denting alat makan beradu. Harum sup rumput laut memenuhi indera penciumanku yang bercampur dengan wangi pelembut pakaian. Mataku masih terasa berat untuk dibuka dan tempatku berbaring ini terlalu nyaman untuk ditinggalkan.

Sejenak aku berpikir, beginikah suasana surga?


Sebuah tangan hangat tiba-tiba menyentuh kepalaku dan ibu jarinya mengusap keningku. Sentuhannya sangat lembut hingga aku enggan untuk bangun. Sampai kudengar suara yang familiar memanggil namaku.

"Jeonghan."

Perlahan kubuka kelopak mataku. Untuk beberapa saat langit-langit di atasku berputar sampai semua terlihat jelas. Seraut wajah tengah memandangiku dengan matanya yang teduh. Ibu jarinya yang hangat masih berada dikeningku namun gerakkannya terhenti. Sedetik dua ku teliti wajahnya, mencoba mengingat-ingat. Rambut coklat gelap dan sepasang mata yang melengkung indah. Sontak aku bangkit dari posisiku yang awalnya berbaring. "Joshua."

Joshua tersenyum, kemudian menyelipkan helai rambut yang jatuh di depan wajahku ke belakang telinga. Ia menyapaku seperti beberapa minggu yang lalu, dengan senyuman manisnya yang membutakan. Hatiku mencelos melihat perlakuannya padaku yang hampir mengembangkan harapan bodoh itu lagi.

"Seokmin sudah menyiapkan sarapan. Aku akan menunggumu di meja makan," ujarnya. Ia beranjak tanpa mengatakan apapun atau menanyakan keadaanku. Punggungnya menjauh meninggalkan aku yang masih tertegun.

Semua terlihat biasa seolah kejadian malam itu tidak terjadi, dan aku hanya sedang menginap di apartemen Joshua. Padahal masih jelas dalam ingatanku. Semalam seorang asing memperkenalkan diri, aku bicara perihal mimpiku padanya, tangan dan leherku digigit, darahku dihisap dan Joshua berlari di kejauhan.

Oh, dan orang asing itu berjanji akan menghilangkan bebanku.

Mungkin itu hanya mimpi, pikirku. Semua terlihat begitu normal ketika aku meninggalkan tempat tidur. Apartemen Joshua yang tidak begitu besar, riuh pikuk kesibukan kota yang diredam dinding bangunan, suara tawa renyah dari Seokmin dan Joshua dari dapur dan bercak darah yang samar di lantai dekat pintu kamar Seokmin yang tertutup. Kulirik sekali lagi ke arah Seokmin dan Joshua yang masih menertawakan lelucon konyol mereka.

'Tidak ada yang aneh' begitu mungkin reaksi yang diinginkan Joshua dan Seokmin dariku. Ya, tentu saja, memang tidak ada yang ganjil sama sekali di pagi yang cerah ini. Jika saja Seokmin tidak lupa untuk mengelap lantai dan pintu kamarnya yang kotor itu. Dengan begitu aku tidak akan mempertanyakan apa yang terjadi di balik pintu kayu itu.

Apakah ada hubungannya dengan perilaku Joshua yang terlampau biasa? Bahkan dia tidak semanis itu seminggu setelah aku memberanikan diri menyatakan cinta padanya. Ada sensasi aneh yang seperti sedang merayap dari leher ke ujung jari-jari kakiku. Jika semalam bukanlah mimpi, lantas kemana laki-laki haus darah itu? Ratusan pertanyaan berkelebat di pikiranku yang kini sulit beralih dari bercak darah itu.

Aku putuskan untuk bergabung dengan mereka, menyendok sup rumput laut yang ditawarkan Seokmin sambil menoleh ke pintu kamarnya lagi. Kutunggu salah satu dari mereka menghentikan akting bodoh ini dan menjelaskan kenapa aku berada di apartemen Joshua dan Seokmin. Sesekali ku tangkap mata Joshua memerhatikanku, tidak, tepatnya sesuatu di bawah wajahku. Ada apa? Ingin rasanya aku menyentuh leherku, mencari apa yang salah sampai-sampai Joshua memandanginya seperti itu.

Pertanyaan itu terjawab ketika Seokmin meminta izin untuk ke kamar mandi dan kembali dengan kotak P3K. Ia berdiri dibelakangku dan melepas perban yang entah kapan ada dileherku. "Apa terasa sakit?" tanyanya padaku sambil menekan-nekan satu titik dileherku sebelum melilitnya dengan perban. Benar saja, ada luka di leherku.

Blood VowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang