Kutatap sesosok perempuan yang berada di dalam cermin. Kulihat matanya yang bulat berwarna coklat. Rambut lurus yang cukup bervolume sebahunya. Tubuhnya dibalut blouse sabrina berwarna putih dipadu dengan jeans hitam membungkus kaki kecilnya.
"Sial lo Ge. Ngerjain gue. Buruan turun nggak!" Dimas sedari tadi memanggil dan tak kupedulikan, akhirnya masuk ke kamarku yang berada di lantai dua.
Dimas Alvaro kembaranku yang juga memiliki mata bulat berwarna coklat. Alis berjajar rapi yang cukup tebal, hidung menjulang dan bibir kecil yang mampu mengeluarkan suara berat nan keras.
Tiba-tiba saja bahuku ditindih dengan tangan super berat. "Buruan Ge!!! Duuhhh. Bengong lagi."
Kini kuperhatikan dua orang di dalam cermin. "Untung kita nggak mirip ya Dim." Ujarku sambil membandingkan wajah Dimas dicermin.
"Untung gue nggak jelek kayak lo." Balas Dimas sambil menaruh telunjuknya di dahi ku.
Dimas sejak lahir memang sudah menang dariku. Oh, ralat! Aku mengalah padanya, membiarkan dia lahir lebih dulu. Dan itu belum cukup untuk memenuhi keserakahannya. Dia menuai kemenangan lagi karena memiliki otak yang cukup encer dan pandai bermusik.
Dimas yang baru akan berusia 16 tahun di bulan Oktober sekarang sudah menginjak kelas sebelas karena berhasil mengambil kelas akselerasi ketika SMP. Sementara aku baru saja lulus sekolah menengah pertama.
Kali ini kupilih sekolah yang berbeda dengan Dimas. Karena aku lelah harus menjelaskan gosip-gosip murah. Menjelaskan kami bukan dua sejoli dimabuk asmara. Tak hanya itu, banyak yang meminta bukti sampai aku harus menunjukkan foto kecil ku dengan Dimas yang sangat memalukan.
Hal yang tak kalah penting yang menjadi alasan untuk tidak berada disekolah yang sama dengan Dimas tak lain karna aku tak pernah berpacaran. Kurasa kaerna banyak yang percaya dengan gosip murah itu. Lagi pula, tak mungkin ku jelaskan pada orang-orang yang tak bertanya. Buang-buang waktu.
-----
"Gelisha!" Panggil Mikha yang berjalan kearahku.
"Eh Mik. Ini kenalin abang gue Didim. Dim kenalin ini Mikha." Kuperkenalkan Dimas sebelum dia menggas kuda besi miliknya.
"Eh, abang abangan ya Ge? Aciee.."
"Kembaran gue kali Mik." Jelasku sambil diikuti uluran tangan Dimas.
"Eh.. Iya? Sorry sorry nggak mirip juga, yaa mana gue tau. Maap bang maap."
"Panggil Dimas aja ya, seumuran juga."
"Eh..Justru gue seneng nggak mirip sama ni bocah. Liat aja tu idungnya 'mancung' banget." Sambung Dimas menekankan kata 'mancung'. Iya, aku tau! Mancung kedalamkan maksudnya.
"Udah deh.. Gerak sana. Tadi pagi aja takut telat."
"Iya bawel. Manyun aja. Gue plintir juga tu bibir."
Dimas pun pergi meninggalkan bau parfum Terre D'Hermes yang diberikan Ibu sebagai hadiah kelulusan tahun lalu. Maklum, Dimas memang anak kesayangan keluarga. Makhluk batangan junior ayah satu-satunya.
"Ge, Dimas kembaran lo ka yaa. Terus kok udah pakek seragam aja? Terus-terus kenapa kalian nggak satu sekolahan aja? Kan lucu, kembaran satu sekolah. Jadi yang lebih bego' enak ngebully-nya." Ujar Mikha senapas.
"Napas Mik, napas. Pertama, Didim masuk kelas aksel waktu SMP. Jadi sekarang dia udah kelas sebelas. Kedua, males gila gue satu sekolahan lagi. Dari TK gue bareng dia, kan mau ngerasain pisah juga. " Jelasku.
"Dan apa tadi Mik? Enak ngebully yang lebih bego'?!" Kuajukan pertanyaan pada Mikha dengan membesarkan pupil mataku, mengintimidasinya. Namun dia hanya tertawa, seolah reaksiku yang paling dinantikan.
Tak seperti perkiraanku, Mikha hanya diam tak melanjutkan pembully-annya. Dia menundukkan kepalanya seolah-olah menatap langkah kakiku.
"1...2...3... Lari Ge!" Tiba-tiba Mikha menarik tanganku menuju papan pengumuman.
"Sabar Mik, tenang tu papan nggak bakal dicuri babi ngepet."
Mikha tak menghiraukanku. Tangan yang di genggamnya erat mendadak terlepas karena laki-laki dengan tubuh jangkung berlari membelah kerumunan orang yang ingin melihat pengumuman hari itu.
Kuperhatikan laki-laki yang berlari dengan senyum diwajahnya. Dia laki-laki dengan senyum manis yang siapapun melihatnya merasa nyaman. Senyum yang akan mengingatkan pada Matahari. Senyumnya sehangat mentari pagi. Kulit yang tak telalu putih tapi tak pula gelap. Gigi yang tersusun rapi menambah manis senyum yang ia tebarkan.
Wajahnya tampak seperti Adam Levine dan tubuhnya seperti Sehun EXO. Dan tolong, jangan membayangkan potongan kepala Adam yang ditempelkan ke tubuh Sehun. Tidak seperti itu! Fisiknya membaur dalam satu tubuh berjudul tampan, meskipun kurus dan tinggi.
Memperhatikannya beberapa menit membuatku lupa dengan hal penting saat itu. Pengumumannya! Sampai Mikha menyadarkanku. Teman seperjuangan yang kukenal dari awal pendaftaran.
"Ge. Bengong lo, Sini buruan! Liatin apaan?" Tanya Mikha sambil melihat sekitar apa yang kuperhatikan.
"Lulus kagak?" Sambung Mikha sambil mencari-cari nomor pendaftarannya.
Cepat-cepat kulihat sebelum dia mengatakan pemikirannya yang suka ngasal dan ceplas-ceplos itu. "Lulus gue. Lo Mik?" Ku jawab dengan rasa puas dan bersyukur.
"Mana ni nomer gue. Kagak jumpa. Keknya gue nggak lulus deh... Ge." Jawabnya panik dan suara yang terdengar gemetar saat memanggil namaku lirih. Air bening yang kulihat sudah penuh dimatanya seakan menunggu ia berkedip untuk jatuh membasahi pipi gembilnya.
"Coba cari lagi yang bener." Kuusap punggungnya menenangkan. Sementara mataku sibuk mencari nama Mikha di papan itu, berharap...
"Nah nah nah.. ni nomer lo bukan?" Ucapku yang turut senang. Sudah ku pikirkan sejak pagi tentang apa yang akan terjadi hari ini di papan pengumuman itu. Mulai dari kami sama-sama tidak lulus karena menurutku soal psiko test benar-benar membingungkan. Sampai salah satu diantara kami tidak lulus. Pasti perasaan canggung dan tidak enak yang paling aku benci itu hadir. Perasaan dimana aku merasa bersalah tapi bukan kesalahanku, merasa sedih meskipun ingin berseri-seri menunjukkan kebahagianku ketika lulus. Atau pun sebaliknya.
"Nggak usah senyum-senyum. Lo pikir cantik kalo senyum gitu?" Ucapku datar dan dingin.
Mikha menatapku dengan pandangan gue-emang-cantik selama beberapa detik sebelum berkata dengan suara dilengkingkan, mirip perempuan jadi-jadian. "Nggak, Gelisha. Gue tau, gue nggak lebih pinter dari abang gue. Eh tunggu, gue kan anak sulung."
Nah kan, aku disindir.
"Iye bener, udah tolol alay lagi." Ucapku yang dibalas dengan tatapan mematikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan Dan Matahari
Teen FictionSiang yang selalu mengingatkan ku pada Matahari. Malam yang selalu mengingatkan ku pada Bulan. Sama berarti. Sama menggetarkan hati. Sebuah kisah tentang Bulan dan Matahari yang selalu mencari, tentang seseorang yang selalu menanti dan Bintang yang...