Kusapa seseorang yang membelakangi pagar rumahku. Postur tubuhnya yang tampak dari belakang seperti orang yang aku kenal. Tapi siapa? Oh, dia!
"Kak Agiel?"
"Mana tas mu? Ini sudah hampir terlambat." Jawabnya membuatku mengerutkan dahi.
"Mana bawanmu? Hari ini ada pelajaran olahraga bukan? Kita pergi bersama, mau kan?"
"Aku bareng Mikha dan Tito kak, udah janji tadi malem. Kakak duluan aja."
Dia menghela nafas. "Ia, sengaja aku menelepon mereka. Menanyakan alamatmu. Mulai sekarang aku yang akan menjemputmu kemanapun." Ini jelas pernyataan bukan pertanyaan. HEY TUAN PEMAK....
"Oh ya, aku juga dapat nomormu dari Mikha." Ujarnya seraya tersenyum. Aduh, lunturkan panggilan pemaksa buat dia.
"Cepat ambil bawaanmu. Kita sudah hampir terlambat, berdoa saja supaya tidak macet." Aku heran dengannya, sebentar manis, sebentar ketus.
-----
"Jadi siapa nama ayahmu?" Kak Agiel melirikku sambil tersenyum.
Ini apa maksudnya? Coba pikir, apa pentingnya dia tau nama Papa. "Kenapa kak? Rasanya nggak penting untuk kakak ketahui."
Dia hanya tersenyum mendengar pertanyaanku, tanpa sadar mobil miliknya sudah terparkir dengan rapi di parkiran sekolah.
Belum sempat kubuka pintu, ia lantas meraih bahuku lembut dengan sebelah tangannya. "Sangat penting sayang, untuk menghafal dari sekarang ikrar yang akan ku ucapkan di depan penghulu, saksi dan tentu ayahmu sebagai wali."
Mataku seperti akan meloncat keluar dan aku tersedak ludah sendiri. Astaga, ini maksudnya pernikahan? Hey! Umurku belum genap enam belas tahun. Kuhiraukan perkataannya dengan senyum sinis dibibirku sembari keluar dari mobilnya. Kulihat dia hanya tertawa kecil melihat tingkahku.
Baiklah aku tak munafik. Tentu saja senang mendengar rayuan si tampan itu. Bahkan jika bukan dia aku tetap saja akan sedikit tersanjung mendengarnya. Misalnya kak Ian yang mengatakan rayuan itu padaku, aku tetap akan semalu dan tersanjung begini bukan? Tentu saja, fisik mereka sama tampannya.
"Mikha Tito! Kalian kenapa...." Teriakan ku terhenti saat ada yang mengambil seperangkat tentengan yang ada ditanganku. Aku terperangah, Aruna. Ya, buaya itu yang mengambilnya. Sebenarnya aku mah senang-senang saja, bebanku berkurang setidaknya.
"Ge Ge, itu anak kesambet setan apa? Tumben bener." Ujar Tito yang menghampiriku setelah aku memanggil nya tadi. Mikha dan Tito saksi atas kejadian yang baru aku alami. Aku juga heran pada anak itu.
Kuabaikan pertanyaan dan dugaan dua makhluk usil disebelahku, Ku langkahkan kaki menuju kelas. "Marah ya Ge? Sorry deh, kak Agiel maksa tu. Masa' dia pake sogoan yang nggak mampu temanmu ini tolak." Mataku terbelalak memandang Tito yang mengeluarkan kalimat penjelasannya.
"Iya Ge, maafin kita. Tau sendiri kita suka yang gratisan, ya nggak nolak kalo dikasi tiket nonton bioskop. kalo kami tau ujung-ujungnya dipaksa ngasih alamat lo, ya kita berdua nggak bakalan mau, suer." Jelas Mikha sambil menunjukkan jari tengah dan telunjuknya membentuk peace.
"Malah katanya barang yang sudah diambil tidak dapat dikembalikan. Gubraaaak..." Tambah Mikha untuk menyempurnakan penjelasannya.
Kulihat Aruna sudah meletakkan tas jinjingan di atas mejaku. Baru saja ingin kupanggil dia untuk sekedar mengucapkan terima kasih, dia sudah membalikkan tubuhnya menatapku. "Ia sama-sama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan Dan Matahari
Teen FictionSiang yang selalu mengingatkan ku pada Matahari. Malam yang selalu mengingatkan ku pada Bulan. Sama berarti. Sama menggetarkan hati. Sebuah kisah tentang Bulan dan Matahari yang selalu mencari, tentang seseorang yang selalu menanti dan Bintang yang...