Aku dan Dipta terdiam saling menatap penuh tanya. Ada apa diantara mereka sebenarnya? Dan 'kita'? Apakah kisah lama yang belum terselesaikan?
Ada rasa sakit muncul melihat mereka. Ada rasa kekecewaan yang tiba-tiba muncul. Ada rasa minder melihat mereka. Wajar bukan? Walaupun kenyataan aku masih menyukai Dipta, tapi aku masih jadi pacar laki-laki dengan kemeja berwarna biru itu bukan? Laki-laki yang akhir-akhir ini ada disetiap lembaran buku kehidupan yang ku tulis.
Dipta memandangku iba. "Lo nggak papa? Eh, pasti kenapa-kenapa ya." Gumam Dipta lebih kepada diri sendiri.
"Gue nggak papa." Kuakhiri kalimat yang terdengar sedikit gemetar dengan senyuman.
"Hei kalian. Jangan tatapan terlalu lama." Kak Agiel memanggil aku dan Dipta, lebih tepatnya meneriaki kami. "Gelisha, sini." Pinta kak Agiel sambil melambaikan tangannya.
Tanganku gemetar, baru kali ini aku merasa begitu bodoh karena tidak mampu mengendalikan diri. Seperti bintang jatuh yang lewat begitu saja di bingkai mata. Perempuan itu tiba-tiba mendongak dan memberikan senyum ramah ke arahku yang begeming.
Ku yakinkan diri untuk melangkah maju. "Gelisha adik Dimaskan? Apa kabar?" Tanya kak Rana ramah.
"I-iya kak. Baik." Aku menelan ludah kemudian menyelipkan rambutku ke belakang telinga.
"Temennya Dimas juga?" Senyum Dipta menjengkelkan sekali. Bikin aku pengin nonjok. Ni orang emang gatau apa memang dia lagi sengaja tebar pesona? Jelas tebar pesona. Siapa yang tidak akan begitu jika melihat betapa indahnya ciptaan Tuhan ini.
Kak Rana menoleh, tersenyum dan mengulurkan tangannya. "Kirana, mantan Dimas."
"Apa"? Kening Dipta mengernyit tak mengerti. Mungkin dia bingung dengan hal rumit yang sedang terjadi.
"Kenapa?" kak Rana seolah tak tahu menahu, mungkin kak Agiel tak memberitahunya, soal hubungan aku dan dia.
"Nggak pa-pa." Dipta menggelengkan kepalanya yang membuat kak Rana melihatnya aneh. Dipta tampak mengangkat arlojinya salah tingkah sebelum kemudian mengatakan. "Gue kesana dulu yaa."
-----
Papa mengetuk pintu kamarku. "Princess. Princess." Panggil Papa.
"Iya Pa, udah bangun." Jawabku malas. Kemudian kutarik kembali selimut dua lapis yang menjadi epidermis bagi badanku. Badanku menyamankan posisinya untuk siap kehilangan kesadaran lagi. Tentu saja aku akan kembali tidur. Masih ada waktu lima menit.
"GELISHA, ANAK PAPA YANG PALING KEBOO! BANGUN!" Suara Papa menggelegar sampai kamarku. Itu pasti Papa teriaknya dari kamar Dimas yang letaknya berseberangan dari kamarku.
"IYA PAPANYA KEBO." Aku balas berteriak.
Malas sekali rasanya beranjak dari tempat ternyamanku ini. Apalagi akhhir-akhir ini langit mudah gerimis, angin yang berhembus terasa dingin dan untukku seperti membakar. Terutama saat mengingat penjelasan kak Agiel saat mengantarku pulang semalam.
Flashback
"Kak..." Aku akhirnya berani berucap juga.
"Hmmm..." Kak Agiel Cuma menggumam tidak jelas dan masih sibuk dengan ponselnya yang sepertinya ada pesan masuk bertubi-tubi. "Kenapa tidak bertanya tentang Kirana?" Jadi dia tahu aku menguping.
Aku menggeleng. "Kupikir lebih baik kakak yang menjelaskannya sendiri kalau dirasa nyaman."
Kak Agiel tersenyum mendengar penuturanku. "Berhubung kamu sudah kenal Rana, aku akan cerita. Rana itu perempuan yang dulu sangat aku sayangi setelah ibuku."
"Lalu?"
"Kami memutuskan untuk berhenti. Karena saling menuntut untuk memahami, tahu kebiasaan, mengerti semua tentang satu sama lain. Padahal kami tahu, kita tidak akan pernah bisa menemukan orang yang seperti itu. Justru seharusnya, kita saling berusaha menjadi orang yang sungguh-sungguh bersedia memahami. Padahal itu sudah lebih dari cukup."
"Tapi menurutku, setiap cinta memiliki waktunya. Jika sekarang belum saatnya, belum pantas, belum siap, bukan berarti itu tidak cinta. Bukan berarti itu tidak sayang."
Kak Agiel terdiam. Sedetik kemudian dia bersuara, "Benar." ucap kak Agiel menatap lurus kejalanan. Aku memalingkan muka, menatap keluar jendela. Menatap kemanapun selain ke sosok yang sedang duduk di sebelahku ini sambil berusaha menetralkan persaan sesak di dada.
Flashback off
"Ge?" Panggil Dimas diikuti dengan ketukan di pintu kamarku.
"Hm? Masuk aja."
"Bareng gue ya?" Tanya Dimas diikuti dengan cengiran mencurigakan.
"Kesekolah?" Aku mengernyitkan dahi, "Lo kemana semalam?" Tanyaku kemudian. "Nggak dari pantai selatan, kan?"
Dimas melebarkan matanya, kemudian terkekeh kecil. "Ya nggak lah." Pandangannya beralih keatas, seperti mencoba mengingat-ingat sesuatu. "Semalem gue kerumah Hana. "
Aku menganggukkan kepala. "Tapi kok lo kayak kesambet gitu, ya? Aneh." Ucapku ngelantur.
Dimas terkekeh lagi. Kemudian tiba-tiba raut wajahnya berubah serius. "Gue kerumah Hana, habis itu kita putus."
"Jadi gue anterin lo, tapi muter kerumah Hana dulu." Sambungnya.
"Loh?"
"Hana kan belum pernah ketemu sama lo, jadi..."
"Jadi lo bawak gue buat bikin dia cemburu? Mimpi lo! Jangan harap gue mau."
"Emang Agiel bisa jemput? Kayaknya semalem gue ngerasa ada yang pulang dengan hawa sendu deh." Jawabnya cengengesan.
Jleb. Astagaaaa... pedas.. pedas...
"Bangke lo Dim." Dimas terkekeh puas. Dasar makhluk satu ini selalu pandai memanfaatkan keadaan.
-----
Aku mendongak menatap perempuan itu. Perempuan yang menatapku dalam. Apakah ada yang salah dengan wajahku. Atau ada kotoran atau semacamnya yang membuat Mikha tampak intens menatapku?
"Kenapa Mik?" Tanyaku akhirnya. Risih juga ditatap terus tanpa tanda-tanda dia mau mengakhiri sorot tajamnya itu.
Dia menggelengkan kepalanya pelan. "Cuma penasaran aja, alasan kuat kayak apa yang bikin lo nggak cerita sama gue, tentang lo dan kak Agiel." Jawabnya membuatku sedikit membelalak.
Mikha tersenyum menjengkelkan sebelum memutar kursinya berhadapan denganku. Duduk dengan wajah penasaran tepat didepanku. "Jadi gimana? Kapan kalian jadian? Kesel gue sama lo Ge. Masa gue taunya dari gosip."
"Semingguan, dan gue lagi nggak mood bahas itu sekarang."
"Bangke, udah lama lagi. Kenapa? Berantem? Cerita aja kenapa sih, biar lo legaan dikit. Siapa tau aja gue bisa ngeledekin." Aku membelalakkan mata. "Eh, ngebantu maksud gue."
"Semalem gue ketemu sama kak Rana, mantannya Dimas."
"Terus hubungannya lo dengan kak Agiel?"
"Dia juga mantannya kak Agiel, dan kayaknya mereka masih saling sayang."
"Lo tau dari mana?"
"Orang yang bener-bener menyayangi kita, dia nggak akan biarin kita nunggu. Meskipun dia tau, kita bersedia aja nunggu."
"Kak Agiel minta gue nunggu, sampe dia siap nemuin bokap gue, sampe dia siap ngenalin gue ke temen-temennya. Gue emang nggak berharap untuk itu, tapi paling tidak kasi gue alasan bisa kan? Setiap gue tanya kenapa, dia cuma senyum atau kadang bilang kalo gue nggak bakalan ngerti. Gue pacarnya bukan sih?"
"Lo berlebihan. Tapi gue setuju, paling enggak dia bisa kasi pengertian kenapa sih bukan sekarang. Kecuali, dia nemuin banyak kesamaan mantannya ada di elo, dan itu bikin dia susah buat jelasin. Menurut gue, lo harus tanyain ke dia kenapa, pelan-pelan aja, takutnya mood nya jelek habis ketemu mantan. Apalagi kalo dia masih sayang." Ujar Mikha santai dan tanpa rasa bersalah. "Tapi seandainya dia belum mau kasi tau, lo tunggu aja dia sampe mau jujur sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan Dan Matahari
Ficção AdolescenteSiang yang selalu mengingatkan ku pada Matahari. Malam yang selalu mengingatkan ku pada Bulan. Sama berarti. Sama menggetarkan hati. Sebuah kisah tentang Bulan dan Matahari yang selalu mencari, tentang seseorang yang selalu menanti dan Bintang yang...