Senin, hari yang paling ku benci. Mulai dari upacara bendera dengan pidato sepanjang jalan kenangan, mata pelajaran dengan guru yang super sadis, dan yang paling utama, jauh dari weekend.
"Setiap kejadian yang terjadi memiliki hikmah yang besar. Tugas kita hanyalah berusaha menggali." Kutipan favoritku yang memang benar rasanya. Dari semua hal yang kubenci dari Senin terselip satu hikmah besar. Barisan kelasku dengan Dipta bersebelahan. Dapat kupandang puas-puas wajah dan tingkahnya. Senyum manis yang Ia tebarkan membuatku teringat pada perkataan Tito tentang dia yang memperhatikanku saat MOS.
"Ah, kacau! Gue cuma kegeeran! Cuma kegeeran! Inget! PHP nggak ada kalo rasa geer nggak muncul. Mungkin Tito cuma salah terjemahin arah pandangan Dipta aja." Tegasku dalam hati.
Tapi tak kupungkiri aku memang jatuh pada kalimat indah yang keluar dari mulut Tito. Kalimat indah? Oh, aku berlebihan!
-----
Seperti biasa, setiap Senin tiba mulailah pekerjaan yang melelahkan sekaligus menyenangkan. Hari dimana kreatifitas terpaparkan dan ide-ide baru bermunculan siap meluncur dengan indahnya kepapan mading.
"Kalian udah pada dengerkan bakal ada pertandingan lukis slogan antar sekolah?" Ujar kak Ian sambil menulis sesuatu. "Gue mau satu perwakilan dari kelas sepuluh, satu dari kelas sebelas. Diskusiin aja dulu, kalo udah mantep kabari gue. Ntar gue konfirmasi ke buk Merry." Sambungnya sembari keluar ruangan.
Mikha mengeluarkan pendapatnya tanpa menanyakan kepastian padaku. "Kalo kelas sepuluh diwakilin Gelisha gimana?"
"Febby aja. Lebih kreatif! Lagian dia lagi dia lagi. Bosen juga. Ini kompetisi bukan ajang buat tenar." Celetuk kak Agni dengan komentar pedasnya yang sudah mulai terbiasa kudengar.
Tak ada yang membantah saran kak Agni. Ntah takut atau malas beradu argument yang tak mungkin dimenangkan. Semua sepi tak berkutik.
"Gue anggap setuju. Ntar gue yang ngabari Ian." Ujar kak Agni.
Suasana tenang mendadak rusuh dengan kehadiran anak Band sekolah. Kuperhatikan satu-persatu wajah yang terasa asing bagiku.
Perhatianku mendadak fokus pada laki-laki yang baru saja masuk keruangan mengikuti teman-temannya. "Kita-kita mau pake ruangan. Kalian udah selesai?" Tanya Dipta. Dia memang tak ingin digelar kak ataupun bang. Terkesan tua katanya.
Pertemuan kali ini memang menggunakan ruangan milik ekskul Band, karna ruangan khusus untuk ekskul mading sedang direnovasi. Jadi harus kucar-kacir pindah dari satu ruangan keruangan lain. Maklum saja, apalah daya ekskul mading kini hanya berstatus menumpang.
Fokusku pada Dipta teralihkan setelah kaum adam yang ku tahu namanya. Dia cukup populer belakangan ini setelah memenangkan pertandingan Nasyid antar sekolah di kotaku.
Wah, tampan juga dia.
Kenapa aku jadi wanita murahan begini. Melihat sosok yang lebih tampan langsung tertegun. Sial! Apa karna masa puberku yang sedang berkecamuk? Ah, ayolah. Aku tidak seplin-plan itu, setidaknya untuk perasaan.
Lamunanku terpecah dengan sapaan yang terdengar nyaring. "Hi!"
Aku menoleh kearah kiriku dengan raut bingung dan malu, takut laki-laki itu sadar bahwa aku sempat memperhatikannya tadi.
"Aku tau aku tampan, tak usah menatapku seperti itu. Tenang saja, aku tak akan jauh dari jangkauanmu." Lanjutnya dengan nada kecil seperti berbisik padaku.
Rasanya harga diriku jatuh seketika. Tanpa sadar aku beranjak sedikit menjauhinya, menatapnya dengan menaikan alis kiriku dan menghembuskan nafas cukup panjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan Dan Matahari
Teen FictionSiang yang selalu mengingatkan ku pada Matahari. Malam yang selalu mengingatkan ku pada Bulan. Sama berarti. Sama menggetarkan hati. Sebuah kisah tentang Bulan dan Matahari yang selalu mencari, tentang seseorang yang selalu menanti dan Bintang yang...