Sudah hampir dua minggu kegiatan antar-jemput yang dilakukan kak Agiel kepadaku. Tapi hari ini tepatnya pagi ini berbeda. Biasanya kami berpisah tepat di parkiran, tapi hari ini dia turut mengikuti ke kelasku, tentunya dengan segala perdebatan terlebih dulu.
Tak cukup hanya itu, dia bahkan tak henti-hentinya menatapku di depan pintu dengan aku yang malas meladeninya dan duduk dengan nyaman dimkursi milikku. Hanya malas saja berurusan dengan kekepo-an anak kelasku soal kedekatan aku dengan kak Agiel, belum lagi mata-mata iblis yang geram melihatku selalu pergi dan pulang sekolah dengannya.
Tapi semua ini membuat jantungku berdegup kencang. Bingung ingin berekspresi seperti apa. Aku berusaha untuk menutup mataku, namun organ ini enggan melakukannya. Seperti ada benda yang mengganjal disana. Mataku seakan tak membiarkan sedikitpun kejadian yang terlewatkan.
Saat ini, entah apa yang harus kuperbuat. Kak Agiel yang semula ada didepan pintu mendekat. "Ciri perempuan cantik itu tentu saja tidak main-main dalam kehormatan diri sendiri, tidak mau dibuat bimbang, tidak mau berlama-lama tanpa status. Dan aku yakin kamu begitu." Ada jeda disana, di kalimat yang bermaksud aku cantik. Tunggu aku cantik katanya? Baru sadar apa? Kemana saja anda? Haha, aku mulai kepede-an.
Aku memandangnya semakin fokus. Dan berkali-kali memikirkan maksud dari kalimat sederhanya. "Aku tidak mau jatuh cinta" Lagi, dia bersuara dan memberi jeda. "Aku ingin menyayangi, disayangi. Tidak ada jatuh yang enak. Cinta itu ibarat air. Biasanya akan tumpah kalau terlalu banyak bertambah. Berbeda dengan sayang, caranya berbeda. Tidak perlu takut akan bosan karena meluap dan berkurang." Dia menarik napas panjangan.
Aku tersenyum membenarkan. "Emang iya, sayang itu ajaib."
Dia mengangguk dan mengambil tangan kananku yang tadinya berada di dalam saku rok putih, seragam sekolah yang kugunakan. "Kalau kamu setuju, bisakah aku menyayangimu dan kamu menyayangiku?" Laki-laki berseragam yang ada didepanku berkata dengan wajah serius. Riuh teriakan teman kelasku terutama Mikha sangat mendominasi. Ekspresi di wajah kak Agiel menegang, namun sedetik kemudian ia tersenyum lembut.
Keterkejutan yang menerpaku saat dia melontarkan kalimat itu. Dia yang sudah melepaskan tanganku melangkahkan kaki pergi sembari tersenyum kepada Mikha yang berada di depan pintu.
Mikha menghampiriku. "Ge, maksudnya kak Agiel itu nembak lo? sumpah lo harus cerita." Ujar Mikha. Sorot matanya tampak berkilau.
"Gue cuma denger bagian dia nanya 'bisakah aku menyayangimu dan kamu menyayangiku?'." Sambung Mikha kemudian. Aku terkekeh melihat betapa lucunya wajah Mikha yang mengangkat tangan kanannya dengan wajah menatapku dan alis yang bertautan, ditambah cara pengucapannya itu, seperti membaca puisi.
-----
"Hi Ge." Sapa Tito yang hanya kubalas dengan senyuman.
"Nah lho, gue nyium sesuatu yang mencurigakan." Ujar Tito yang kali ini kubalas dengan senyum sangat lebar dan menyipitkan kedua mata.
Mikha hanya terkikik mendengar penuturan Tito. "Udah-udah, kantin dulu yuk. Gue laper." Mikha merengek dengan nada super manja yang siapapun mendengar akan mengalami gangguan pencernaan, sakit kepala, berkurangnya nafsu makan, mengganggu sistem kekebalan tubuh, mual, dan efek samping yang lainnya, kecuali Tito pastinya.
Tito mengelus lembut kepala Mikha. "Ya udah, yuk."
"Kalian cari tempat, biar gue yang pesen. Mikha bakso kosong sama teh es, Gelisha mie ayam sama es kosong, bener?" Tanya Tito.
Aku dan Mikha menjawab serentak. "Bener!"
"Eh Ge, lucu kali ya kalo lo beneran jadi sama kak Agiel." Ujar Mikha sambil mendudukan bokongnya di kursi.
"Maksud lo?" Aku tahu betul maksud Mikha apa. Hei, hubungan itu tidak boleh dipaksa kawan. Toh, jika dua orang udah ditakdirkan buat sama-sama. maka disudut Bumi manapun mereka berada, pasti bertemu.
"Iyaa, kak Agiel kan lucu. Tengil sih, tapi kalo lagi serius, nyesss... banget." Jelas Mikha, sepertinya bocah ini membayangkan kejadian tadi pagi yang kuceritakan padanya.
"Hahaha apa sih Mik. Nggak usah aneh-aneh. Urusan hati nggak usah ikut campur." Ujar Tito sambil meletakkan makanan kami di Meja.
"Coba pikir dulu deh To. Gelisha ini kan belum pernah pacaran. Nah, kalo dia naksir sama orang yang cuma cocok untuk jangka pendek gimana?" Ingatkan aku menendang Mikha lain kali. Dasar ember!
Tito mengangkat alisnya. "Lah.. Emang lo yakin gue cocok untuk jangka panjang?"
Mikha menaruh dagu diatas tangannya dengan telunjuk yang memukul-mukul pipi miliknya, seperti berpikir keras. "Eemm, iya sih ya. Jatuh cinta juga nggak bisa milih orang."
Tito menatap Mikha intens. "Tapi, milih gue buat diperjuangin rasanya hebatkan."
Mikha menatap Tito seraya tersenyum. Kemudian, "Krik..Krik..Krik.." Mikha bersuara seperti jangkrik. Haha dua makhluk ini.
"Dalam jangkrik, tersimpan kadar kebaperan yang tinggi tu To." Sahutku yang membuat Mikha dan Tito tertawa.
-----
Aku merasa ada seseorang yang memperhatikanku disana. Aku menoleh. Jantungku menggila, seperti hendak keluar dari sarangnya.
"Hei, Ge. Back to earth." Tepukan dipunggung membuat aku tersentak. Aku segera memandangi Dimas, kembaran sekaligus pelaku penepuk punggungku.
"Ada kak Agiel Dim." Ujarku sambil menatap Dimas dengan mata membulat.
Aku memang sempat bercerita soal kak Agiel tempo hari yang menurut Mikha mengutarakan perasaannya. "Mana-mana? Pengen tau gue, sebodoh apa dia bisa suka sama lo." Dimas menatap lurus kearah pandanganku tertuju.
"Wah, melototin Ge.." Aku mengangguk setuju, lalu leherku terasa dijepit oleh sesuatu, lebih tepatnya lengan seseorang.
"Pelototin balik Ge." Ujar Dimas sambil terkikik yang tentu saja belum melepas lengannya dari leherku.
Aku memprotes Dimas yang diikuti dengan menyiku perutnya. Cukup kuat menurutku. "Apa sih Dimas, sakit begok. Norak ih." Anehnya Dimas malah cengengesan. Tidak jelas ini makhluk.
"Ehm.. Ge." Sapa seseorang yang pura-pura tak kulihat.
Kujawab dengan malas. "Hmm.." Kenapa harus nyapa?
"Aku bosan sendiri, aku bosan memperhatikanmu dari jauh, aku bosan melihatmu bisa dekat dengan lelaki lain tapi tidak denganku." Ujar kak Agiel dengan pandangan tajam tertuju pada Dimas. "Aku suka gaya kamu, tidak mengikuti apapun dan siapapun untuk ditiru. Kamu adalah kamu, menjadi diri sendiri. Kupikir aku suka Gelisha Alvaro. Dan itu kamu."
Tunggu, apa yang kak Agiel bilang? Dia suka aku? Tolong siapkan tandu untukku karena aku benar-benar ingin pingsan. Bukan karena pernyataan kak Agiel, tapi karena ini akan jadi bahan olokan Dimas selama seminggu.
"Anjir, gue dikira saingan kali ya. Tunggu ya gue ngakak dulu. HAHAHAHAHAHA." Dimas terkekeh.
"Taukan nama belakang ni cebol? Nama belakang gue juga itu. Gue abangnya kali." Sambung Dimas seraya menjulurkan tangan.
Bibir kak Agiel seketika melengkung, tulang pipinya terangkat seiring ia melukiskan senyum. "Jadi bagaimana Ge?" Tanya kak Agiel kembali sambil membalas jabatan tangan Dimas.
"Aaawww.. abang dicuekin. Abang pergi aja, kalian tega." Dimas menggodaku dengan nada manja, berlalu seraya mengedip-ngedipkan kedua mata coklat miliknya. Ya, kak Agiel hanya membalas uluran tangan Dimas. Tidak dengan balasan perkenalan.
"Gue kerumah Hana ya Ge, lo minta anterin abang gemes aja nggak papa yaa." Dimas berlari mundur sambil melambaikan tangannya.
Kulihat kak Agiel tersenyum dengan menampakkan gigi putih miliknya yang berjajar rapi. Dia menatapku, seperti menuntut jawaban.
Aku menarik nafas panjang dan mengeluarkannya. "Oke kita coba."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan Dan Matahari
Teen FictionSiang yang selalu mengingatkan ku pada Matahari. Malam yang selalu mengingatkan ku pada Bulan. Sama berarti. Sama menggetarkan hati. Sebuah kisah tentang Bulan dan Matahari yang selalu mencari, tentang seseorang yang selalu menanti dan Bintang yang...