"Paling enggak dia bisa kasi pengertian kenapa sih bukan sekarang. Kecuali, dia nemuin banyak kesamaan mantannya ada di elo. Menurut gue, lo harus tanyain ke dia kenapa, pelan-pelan aja, takutnya mood nya jelek habis ketemu mantan. Apalagi kalo dia masih sayang. Tapi seandainya dia belum mau kasi tau, lo tunggu aja dia sampe mau jujur sendiri."
Perkataan Mikha terngiang ditelingaku, seakan lagu yang diputar dengan mode repeat. Ya, aku memang harus bertanya. Mungkin ini bukan tempat yang tepat, tapi bisa jadi waktu yang tepat.
"Kak" Panggilku, dia menaikkan alisnya bertanya.
"Aku mau nanya boleh?" Tanyaku ragu, tapi mulai memantapkan diri.
"Memangnya kamu mau tanya apa?"
"Kenapa sih, setiap kali kita jalan terus ketemu temen-temen kakak, kakak nggak pernah ngenalin aku ke mereka. Kakak selalu bilang aku ini temen, kadang adik, atau kadang menghindar, terus jemput aku pake izin ke ayah kapan? Masa harus nunggu ayah nggak dirumah dulu baru kakak main kerumah."
"Aku belum siap Ge, maaf yaa." Hanya jawaban singkat itu yang keluar dari mulutnya.
Aku menghembuskan nafas berat, jengah dengan alasannya yang itu-itu saja. "Terus kapan siapnya?" Tanyaku langsung, menatap sungguh-sungguh kearahnya.
Dia tergeming, seolah pertanyaan yang aku ajukan adalah sebuah jebakan pilihan antara hidup atau mati.
"Jujur aja, aku jadi mulai ragu." Suaraku bergetar.
"Ragu?" Tanya kak Agiel.
Aku mengangguk, "Kalau kakak memang masih sayang sama kak Rana, kenapa sekarang kita masih gini? Kalau kakak nggak ada perasaan lagi sama kak Rana, kenapa kita jadi gini?"
Kak Agiel mencondongkan tubuhnya dan memicing menatapku. "Maksud kamu apa? Jangan main tebak-tebakan, kamu mau aku peka? Kamu kan tau aku tidak."
"Kurang jelas apa sih kak? Oh, mungkin karna kakak bingung kali, makanya nggak ngerti. Oke, aku perjelas. Kalau kakak emang masih sayang sama kak Rana, aku nggak papa. Ini serius. Aku nggak pengen aja, alasan kakak yang jadiin aku pacar cuma karna aku sama kak Rana punya banyak kesamaan, misalnya."
"Kamu ini bicara apa. Kamu tak usah bimbang akan rasaku untukmu. Aku hanya bingung akan beberapa hal yang terjadi akhir-akhir ini." Kak Agiel memulai pembicaraan. Ada jeda pada pembuka kalimatnya, memberikan reaksi pada tubuhku hingga maju beberapa senti. Wajahku mungkin sudah kelihatan antusias, terlihat dari senyum yang dia tebarkan. "Aku hanya bingung, mengapa potongan hati itu harus kembali datang ketika reruntuhannya telah dibangun lagi oleh orang yang berbeda?"
"Mungkin potongan hati yang udah dibangun sama orang yang berbeda itu punya pondasi yang nggak sekuat potongan hati lama."
"Kepercayaan dan kejujuran maksud kamu? Kamu kurang percaya atau bahkan tidak percaya ya, sama aku? Aku tidak pernah menyembunyikan sesuatu atau berbohong sama kamu."
"Maksud aku kepercayaan sama diri sendiri, kalau sendirinya masih suka bertanya-tanya soal yang lalu tapi yang baru justru ada di depan mata, logika jadi bingung sendiri memutuskan dia yang disana atau dia yang ada sekarang. Dan masalah kejujuran, coba kakak jujur sama diri sendiri dulu. Nanti hati kakak yang nemuin jawaban atas logika itu."
"Jadi kamu maunya apa?"
"Mau kakak nemuin jawaban." Jawabku cepat.
"Ini sama sekali nggak ada kaitannya dengan pembicaraan aku sama Rana tempo lalukan? Aku tahu kamu mendengarnya."
"Aku bohong kalo ini nggak ada kaitannya dengan itu. Tapi bukan itu topik utama kita sekarang."
"Kakak sadar nggak sih? Aku ngerasa semacam tombol pause. Rasanya kehadiran aku tuh bikin kebahagiaan kakak sama kak Rana jadi ke pause sebentar."
"Yang aku tangkap dari cerita kakak. Kakak masih sayang sama kak Rana. Jangan berpikir untuk melawan rasanya, hadapi kemudian terima. Aku yakin akan ada jawaban dari kebimbangan kakak. Hubungan ini, bukan cuma aku yang ngejalani, kak juga berperan didalamnya. Yang aku bilang tadi, sebaiknya kakak pikirkan dulu. Karena itu bukan cuma soal aku dan pendapatku, tapi kita."
"Aku sudah lama melupakan Rana."
"Bisa jadi, yang kita lupakan adalah sesuatu yang mengingat kita. Bisa jadi, yang kita tinggalkan, justru adalah sesuatu yang selalu menunggu kita."
Kak Agiel terdiam. Kemudian dia berucap. "Selalu ada alasan untuk kembali, tapi bagaimana kalau hati tak saling memberi pelukan hangat?"
"Jadi itu jawabannya?" Suaraku bergetar. Sekuat tenaga aku menahan agar air mata yang sudah mengumpul dikelopak mata agar tidak mengalir keluar.
Disaat aku berhenti berharap pada orang lain dan ingin mencoba dengannya, dia justru punya maksud lain denganku. Mungkin pelarian?
"Mungkin itu lebih baik dari pada kamu jadi bayang-bayangan orang lain." Ucap kak Agiel. Badanku seketika bergetar hebat. Perasaan kecewa dan marah bercampur menjadi satu, membuat dadaku benar-benar terasa sesak saat ini. Dan lucunya suaraku bahkan tidak bisa keluar sama sekali. Seakan lidahku kelu, disertai otakku sepertinya.
Aku hanya bayangan kak Rana. Mikha benar, dia memilihku hanya karena aku memiliki banyak kesamaan dengan mantannya itu.
Ada begitu banyak hal yang menyesaki ruang otakku saat ini. Bukan hanya soal cinta yang mungkin tak akan pernah berbalas dengan orang itu. Atau absurditas khayalanku yang tengah menjalani hubungan yang disebut 'pacaran' dengan kak Agiel. Aku tahu hidup tidak mungkin sesederhana itu.
Waktu panjang tak hanya bisa dihabiskan dengan pemikiran utopis tanpa dasar yang jelas. Adahal yang lebih penting dari itu semua. Paling tidak aku membutuhkan pemikiran seperti itu saat ini, untuk menguatkan, untuk meyakinkan, kalau aku bisa melaluinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan Dan Matahari
Teen FictionSiang yang selalu mengingatkan ku pada Matahari. Malam yang selalu mengingatkan ku pada Bulan. Sama berarti. Sama menggetarkan hati. Sebuah kisah tentang Bulan dan Matahari yang selalu mencari, tentang seseorang yang selalu menanti dan Bintang yang...