Mengejar Restu Ibu-
Disini Arkan sekarang. Di kamarnya, sendiri, tanpa ada alat komunikasi apapun. Hanya ditemani sebuah tape recorder dan buku-buku mata kuliahnya. Arkan sudah muak. Ia hanya duduk bersandar di atas kasur dan memandang dinding kamarnya dengan tatapan kosong. Seminggu yang lalu, selepas pulang dari bandara dan pernikahan gagalnya, ibunya marah besar dan mengurung Arkan di kamarnya. Arkan sempat meminta maaf. Tetapi ibunya yang sedang kalap itu hanya terus membentak dan mengunci Arkan di kamarnya.
Seseorang mengetuk pintu kamar Arkan. Arkan menghiraukannya dan melanjutkan acara melamunnya. Terdengar suara kunci yang dimasukkan ke lubang kunci dan bunyi 'cklek' , tanda bahwa pintu sudah terbuka. Orang itu masuk- ternyata Salsa, ia membawa sebuah nampan. Salsa menatap kakaknya nanar.
"Bang, makan malam dulu." Ujar Salsa setelah meletakkan nampannya di meja nakas. Ia mendekat ke arah Arkan dan menyentuh pundak Arkan pelan. Arkan melihat ke arah Salsa. Masih dengan tatapan kosongnya.
"Makan, Bang."
"Apa Askar bakal balik setelah gue makan?"
Salsa seperti tertohok ribuan tombak ketika mendengar pertanyaan Arkan. Ia pun tersenyum dan mengambil piring di atas meja.
"Makan dulu, bang." Salsa menyodorkan satu sendok nasi di depan mulut kakaknya yang terkatup rapat. Arkan hanya diam. Tidak berniat membuka mulutnya barang se-senti pun. Salsa menghembuskan nafasnya lelah.
"Oke. Jangan nyesel kalau besok pagi lo nemuin mayat di kamar gue." ujar Salsa kesal sambil berdiri. Arkan menengok secepat mungkin ke arah adiknya. Kalau Salsa sudah dalam mode gue-lo, dia benar-benar marah dan akan melakukan apapun yang di ucapkannya. Segera Arkan mengambil piring dan memakan apa saja yang ada di atas piring itu. Salsa tersenyum menang dan duduk lagi. Menemani Arkan.
.
Paginya, pintu kamarnya sudah terbuka. Di ambang pintu berdiri seorang wanita paruh baya yang tersenyum ketika melihat Arkan keluar kamar. Ia menerka, pasti itu pembantu baru yang di bayar ibunya untuk mengawasi kamarnya. Arkan berdecih. Ia segera menuju garasi tanpa berniat untuk sarapan terlebih dulu. Sampainya di dalam mobil, Arkan menyumpalkan earphone di kedua telinganya. Mobil melaju menuju kampusnya.
Dalam perjalanan, ia menengok keluar jendela. Melihat aktivitas pagi warga kota yang sibuk. Sembari menyelami kenangan indah yang ia buat bersama Askar. Memang singkat, namun itu lebih indah dari apapun di dunia ini. Pikiran-pikiran aneh lainnya juga ikut bersemayam di otak kecil Arkan. Jika memang rasa cinta yang Arkan miliki pada Askar adalah salah, mengapa Tuhan memberikan rasa itu kepadanya? Arkan menggelengkan kepalanya sebelum otaknya semakin jauh berpikir hal random.
Tak lama kemudian mobil berhenti. Arkan keluar mobil dan menutup pintunya dengan kasar. Berjalan malas menuju fakultasnya. Mobilnya berjalan menuju parkiran. Ibu memerintahkan Pak Giyok untuk mengantar-jemput Arkan setiap hari. Bahkan kalau bisa sampai menunggu Arkan di kampusnya supaya dia tidak kabur. Arkan sudah malas dengan perlakuan ibunya yang semena-mena itu.
Sekarang ini Arkan sedang duduk di kantin. Menikmati secangkir teh hangat dan sepiring gorengan. Juga sebungkus roti isi ayam. Arkan menatap roti itu sayu dan sedih. Dia jadi baperan akhir-akhir ini. Denger lagu Flashlight-nya Jessie J dia sampai nangis. Melihat buku SMAnya yang nganggur di gudang, Arkan jadi melamun dan memikirkan masa putih abunya yang sedikit ia lewati bersama Askar.
"Woyyy!!! Ngelamun aja!" Arkan tersentak kaget mendapati Dion, Kevin, Ryan, dan Dika sedang duduk di mejanya. Arkan membulatkan matanya. Kenapa semua temannya yang notabene beda fakultas bisa mampir ke kantin fakultas anak ekonomi? Padahal kelas kantin anak kedokteran lebih luas dan banyak makanan yang ingin Arkan makan.
"Hai." Sapa Arkan malas. Dia membuka bungkus rotinya dan menggigit roti itu perlahan. Sangat perlahan. Seperti terpaksa. Dion dan yang lainnya saling pandang, lalu merekapun mengangguk bersamaan.
"Ah elah, galau mulu lo! Santai coi! Masih ada gue, lelaki tertampan sedunia!" Dion berdiri dan membusungkan dadanya bangga. Arkan terkekeh setelah itu. Lalu ia menggigit roti ayamnya penuh minat.
"Kalian kok ke kantin gue? Kantin kalian udah gak lengkap lagi?" Tanya Arkan.
"Buset! Gue gak mikir tentang kantinnya, Sobat. Gue mikirin elo." Kali ini Kevin yang bersuara. Arkan ketawa lagi.
"Lagian, ya, Kan, percuma kita makan enak di kantin sana kalau lo-nya sendirian gitu."
Arkan benar-benar terharu kali ini. Dia menatap teman-temannya satu persatu sembari memberikan tatapan haru. Matanya berkaca-kaca. Bibirnya bergetar menahan tangis. Tuh, di bilang juga apa! Arkan baperan kali ini.
Andai Askar juga ada disini.
Dika berpindah menuju sebelah Arkan, kemudian cowok itu menepuk bahu Arkan. Menenangkan sahabatnya yang baper. Arkan menengok ke arah Dika, lalu memeluk Dika erat. Menangis tersedu-sedu sampai baju Dika basah.
"Udah jangan nangis! Lebay, ah!" Dika mengelus punggung Arkan. Berusaha menenangkan. Dion jadi ikut terharu dan menghampiri mereka berdua.
"Hu..hu... gue kok terharu juga!" Ucap Dion sambil memeluk Arkan dan Dika. Sedangkan Kevin dan Rian hanya diam melihat para uke menangis dan berpelukan seperti itu. Dalam hati, mereka juga merindukan sosok brandal Askar.
"Baidewey, coi. Kalian gak masuk kelas? Udah jam delapan lebih, loh." Arkan berkata, tetapi tetap memeluk Dika. Seketika itu juga Dika melepaskan pelukannya, Dion berdiri, Kevin dan Ryan sudah berlari meninggalkan kantin.
"Kita masuk dulu, ya! Ketemu lagi nanti!" Teriak Dion. Arkan ketawa ngakak melihat semua tingkah sahabatnya. Beberapa detik kemudian dia melamun lagi. Suasananya kembali sepi, se-sepi hatinya. Kosong melompong.
"Cowok itu gak akan balik ke elo. Lupain aja." Ujar seseorang di belakang Arkan. Arkan terkejut dan segera menoleh ke sumber suara. Cowok berambut hitam serta sedikit cat hijau pupus di bawahnya tersenyum penuh arti. Arkan memicingkan matanya, tanda kalau dia gak suka cowok rambut ombre di hadapannya ini bicara omong kosong.
"Sok tau lo!" Gertak Arkan sebal sambil meninggalkan kantin. Cowok ombre itu mengikuti langkah Arkan.
"Lupain aja cowok itu, masih ada banyak cowok di dunia ini." Cowok itu semakin melantur. Arkan mempercepat langkahnya.
"Mau sampai kapan lo nunggu dia?"
Arkan harus segera sampai parkiran.
"Betah nungguin yang gak pasti?"
Arkan mulai gerah.
"Sanggup?"
Arkan menggertakkan giginya kesal.
"Mending cari yang lain, deh."
Arkan membalikkan badannya cepat. Menghembuskan nafasnya lalu berdecih tepat di muka cowok rambut hijau itu. Arkan baru menyadari kalau cowok itu mempunyai tindik di telinga dan hidungnya. Tipe cowok nakal. Alias badboy. Alias 'terong-terongan'.
"Lo! Gue bahkan gak tau lo siapa, tapi seenaknya lo nyuruh gue lupain Askar? Kalau ngomong pake otak! Dasar terong!" Arkan mendengus lalu melangkahkan kakinya cepat. Cowok hijau tadi membeku di tempatnya.
"Agresif. Cocoklah." Ucap cowok itu sambil bersiul.
TBC
Part ini sedikit karena ada dua. Kalau di gabung nanti kalian bosan dan jadi males sama cerita gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Stuck Boy√
Random#MY BOY SERIES 2# My Stuck Boy. Gak jauh-jauh dari My Brandal Boy, karena ini adalah cerita mereka tentang pernikahan Arkan. Juga cerita kehidupan Arkan pasca di tinggal Askar pergi jauh. ⚠️⚠️⚠️ Ini memang dimulai dari chapter 0.5 ya