0.6b

43.7K 4.3K 511
                                    

Mengejar Restu Ibu- (lagi)

Saat Arkan hendak keluar untuk berangkat kuliah, dia terkejut karena pintu kamarnya tidak lagi di kunci. Juga, tidak ada wanita paruh baya yang menyambutnya di depan pintu kamar selama dua bulan ini. Arkan heran. Sekaligus merasa senang. Apa ibu sudah mulai menerimanya? Ia mengedikkan bahu dan berjalan menuju meja makan.

"Sudah bangun, sayang? Tunggu sebentar, ya. Sarapan segera siap." Arkan melongo. Ibunya yang beberapa bulan lalu dingin dan tidak berbicara padanya kini mulai memanggilnya 'sayang' dan tersenyum halus. Salsa yang melihat hal itu juga tersenyum lenar, begitu juga ayah yang sedang membaca koran. Arkan mengangguk kikuk dan duduk di kursi. Ia meminum susu yang sudah tersedia di meja. Meredakan keterkejutannya.

"Nah, ini ibu masak sayur asem kesukaan kamu," Ibu tersenyum sambil menoleh ke arah Arkan.

"Ibu juga goreng tempe. Yaudah yuk langsung makan." Ibu pun mengambil piring di depan Arkan dan memberikan nasi di atasnya. Arkan melongo lagi. Oh, dia juga baru sadar kalau sedari tadi tidak ada pembantu yang mondar-mandir di dapur. Lah, pada kemana?

"Cukup, Nak?" Tanya Ibu. Arkan mengangguk. Ibu pun meletakan piring itu di depan Arkan dan kembali duduk.

"Loh, ayah gak di ambilin nasi juga?" Tanya ayah dengan nada humor. Ibu tertawa dan mengambilkan nasi untuk ayah. Mereka pun sarapan dengan ceria, penuh canda tawa.

"Hmm, ibu. Jadi...?" Arkan menatap ibunya yang kini sedang tersenyum. Ibu lalu mengangguk.

"Kini ibu sadar. Ibu tahu bagaimana perasaan cinta kamu yang besar ke Askar. Ibu sekarang paham, ibu gak akan melarang kamu lagi. Lakukanlah, asal kamu bahagia." Jelas ibu panjang lebar. Arkan membeku. Dia benar-benar gak menyangka kalau ibunya kini sudah sepenuhnya mendukung hubungan mereka.

"Jadi, tunggulah Askar dan berbahagialah." Arkan kelewat bahagia sampai-sampai dia berlari menuju ibunya yang hanya berjarak sekitar lima puluh centi di hadapannya. Ibu terkejut saat Arkan memeluknya erat.

"Makasih, bu! Aku sayang ibu!" Arkan menangis tersedu dalam pelukan ibunya. Ibu pun ikut meneteskan air mata dan mengelus punggung anak lelakinya.

Arkan hanya harus menunggu Askar menyelesaikan kuliahnya di sana. Arkan juga tetap harus fokus pada kuliahnya yang terbengkalai beberapa hari ini karena terus memikirkan Askar. Ya, Arkan hanya harus menunggu Askar pulang dan kembali menjalani hubungan sebagai sepasang kekasih tanpa ada penghalang.

Oh, berbicara tentang penghalang. Bagaimana kabar cowok hijau yang mengganggu Arkan belakangan ini?

Cowok rambut hijau itu semakin menjadi-jadi. Selain memandang Arkan dengan intens, cowok itu selalu mengikuti kemanapun Arkan pergi. Arkan jadi keki dan sangat risih. Ingin rasanya dia menikam cowok hijau itu dari belakang lalu menusukkan pisau tajam ke perutnya dan mengoyak perut itu sampai isinya keluar. Err... jijik, ya.

"Keparat! Berhenti jalan di belakang gue!" Teriak Arkan kesal. Langkahnya berhenti dan kepalan tangannya semakin menguat. Dia sudah muak dengan cowok hijau yang bahkan dia gak tau namanya ini. Sedangkan cowok itu tersenyum lebar. Sangat lebar.

"Suka-suka gue mau jalan dimana." Jawab cowok itu sambil menyusul langkah Arkan. Astaga, apa maunya cowok gila ini?

"Oh, ya. Nama gue Ashton. Lo boleh panggil gue Ash aja." Cowok yang mengaku bernama Ashton ini tersenyum semakin lebar. Tangannya sudah bersiap merangkul Arkan kalau saja tidak ada teriakan seorang perempuan.

"Arkan! Gue di sini!"

Arkan melongo. Itu, Gadis. Perempuan yang dulu 'hampir' menjadi istrinya. Gadis mendekat. Lalu ia memeluk Arkan seerat mungkin.

My Stuck Boy√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang