HSL Part 14

233 12 5
                                    

            Beberapa orang sedang sibuk mendorong sebuah ranjang pasien khas rumah sakit menuju ruang IGD dengan sangat cepat. Korban ini baru saja diturunkan dari Ambulance. Darah merah mengalir dari kepala sang korban, dan beberapa bagian dari kaki dan tangannya terdapat luka yang cukup serius.

"SHANNON!"

"SHAN!! SHAN!! Bangun, plis!"

"Shannon-ah!"

"YA! SHANNON-AH! CEPAT BANGUN!!

"Kalian harus tunggu disini. Tunggu sebentar, oke?"

Eddle dan Vernon duduk terdiam disebuah kursi panjang didepan ruang IGD. Menunggu hasil yang tak pasti, dan tak tahu apa yang harus diperbuat sekarang. Mereka hanya bisa berdo'a dan mengharapkan hasil yang sangat baik.

Pakaian Eddle yang awalnya berwarna putih, kali ini terkena bercak merah dari Shannon. Ia memegang jaket jeans yang juga telah berlumuran darah karena Shannon yang masih mengenakannya saat kejadian. Ia bangkit dari duduknya dan menghampiri Vernon yang berada dikursi dihadapannya.

"Kenapa lo sampe gak tau kalo itu adek lo sendiri, HAH!?" Eddle menarik kerah pakaian Vernon. Lelaki itu hanya dapat menundukkan kepalanya dan sama sekali tidak merespon apa yang telah dilakukan Eddle terhadapnya.

"Jawab gue.." Bodoh, hanya itu kata yang terus-terusan berputar mengelilingi otak Vernon. Harusnya ia lebih jeli dan teliti kalau yang menjadi kekasih settingan Eddle adalah adiknya sendiri.

Eddle melepaskan cengkeramannya dan berteriak dilorong rumah sakit itu. Entah apa yang dipikirkannya sekarang. Ia benar-benar kacau. Seharusnya, tadi ia bisa lebih mencegah dan memperkuat genggaman tangannya agar Shannon tidak dapat berlari begitu saja. Ah, tidak. Seharusnya, ia membawa Shannon pulang. Bukan menurutinya untuk mengikuti Vernon. Dia benar-benar tidak dapat berpikir dengan jernih dan baik untuk saat ini. Eddle kembali menghempaskan tubuhnya kekursi tunggu khas rumah sakit.

"Vernon-ah!"

Seorang perempuan dengan wajah bule berjalan dengan setengah berlari diikuti oleh suaminya. Ia menghampiri anak sulungnya yang sedang terduduk diam dikursi tunggu.

"Apa dia ada didalam?" tanya sang ibu. Tapi, Vernon tidak memberikan jawaban apapun. Jangankan berbicara, mengangguk pun tidak. Eddle ingin menjawab pertanyaannya. Tapi, sang ibu telah masuk terlebih dahulu tanpa ada yang menghalangi. Eddle terkejut dengan yang dilihatnya. Ia tidak mengetahui kalau ibu Shannon adalah seorang dokter.

Kali ini sang ayah duduk dengan tenang disebelah sang anak. "Ada apa? Jelaskan pada Daddy.." sama saja, Vernon tidak menjawab pertanyaan apapun. Ayahnya mencoba untuk mengerti apa yang dirasakan Vernon. Vernon pasti merasa sangat terpukul dengan kejadian buruk yang telah terjadi didepan matanya.

"Ah, Daddy mengerti.." Vernon merasa sedikit pusing dan merasa sakit disekitar lengan kanan dan kaki kanannya. Apa ini yang dirasakan Shannon didalam sana? Setiap Vernon sakit, Shannon selalu mengatakan kalau ia juga merasa sakit. Dan saat ini, saat Shannon sakit, Vernon juga merasakan sakit, dan letaknya pun sama dengan letak luka yang diderita Shannon.

Ayah Vernon baru menyadari jika ada orang lain selain dirinya dan Vernon disitu. "Oh, Nak. Kamu.. siapa? Kenapa baju kamu bisa kena darah gitu?" tanya ayah Vernon.

Eddle yang merasa pertanyaan itu ditujukan kepadanya langsung menjawabnya dengan nada yang berat. "Ah, saya Eddle, Eddle Samala. Saya teman sekelas Shannon, dan pas kejadian saya ada di TKP. Karena sebelumnya, Shannon pergi sama Saya." Jelas Eddle.

"Dan ini salah saya, om" tambahnya lagi. Ia menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian ini. Eddle menundukkan kepalanya menatap lantai.

"Saya gak bisa nahan anak om supaya jangan nyebrang duluan, karena waktu nyebrang yang udah mau habis." Sambung Eddle.

"Gak, itu salah Vernon, Dad." Vernon menyela ucapan Eddle. Ia merasa lebih bersalah dibandingkan dengan Eddle.

"Seandainya Vernon gak ngikutin kemauan orang itu, pasti semua baik-baik aja." Tambah Vernon yang lebih menyesali tingkahnya. Dan Audy, ntah pergi kemana setelah kejadian itu. Menghilang tanpa jejak. Benar-benar gadis tidak tahu diri.

"Gak, om ini murni saya yang salah."

"Gak, gue yang salah Eddle!"

"Gue, Ver!" masing-masing dari mereka tetap menyalahkan diri masing-masing. Semua merasa salah.

"STOP! STOP! Dalam kejadian ini tidak ada yang salah. Mungkin, ini memang salah Shannon sendiri, bisa juga si penabrak."

"Apa kalian berdua mengingat nomor polisi mobil itu?" tanya ayah si kembar. Tak ada satupun dari mereka yang menjawab. Setelah kejadian berlangsung, mobil itu segera pergi melarikan diri begitu saja. Mereka tidak mungkin sempat menghafalkan nomor polisi mobil yang menabrak Shannon, karena mereka semua sibuk menolong dan mencari bantuan untuk Shannon.

"Ah, sudahlah. Ini adalah takdir, kita tidak bisa menghindarinya."

ooo

Dibalik lorong ruang IGD, Audy terduduk dengan bersandar pada tembok rumah sakit. Ia ingin mencoba untuk menghampiri keluarga Shannon tapi ia tidak mempunyai banyak nyali yang cukup.

Karena keegoisannya, kecelakaan ini terjadi. Sebenarnya ia tahu, kalau orang yang disebut Sharon oleh Eddle adalah Shannon. Ia benar-benar tidak asing dengan seniornya yang satu itu. Dari bentuk tubuh, tinggi badan, gerak-gerik, bahkan warna rambutnya yang mencolok. Tapi ia hanya acuh tak acuh dan tidak memperdulikannya sama sekali.

Saat sebuah mobil menabrak Shannon, ia menoleh kebelakang terlebih dahulu dan mencoba untuk menolong. Tapi ia memiliki lemah jantung dan tidak dapat melihat darah sebanyak itu. Ia akan pingsan ditempat bila melihatnya. Jadi, ia berlari menjauh dan mencoba memanggil bantuan darimanapun.

Sebelum Vernon dan Eddle memanggil bantuan, beberapa mobil polisi dan sebuah ambulance telah tiba. Mereka tetap sibuk dengan Shannon tanpa memikirkan siapa yang memanggil bala bantuan untuk Shannon.

Audy meremas kepalanya yang tertutup oleh rambut hitam panjangnya. Ia tidak tahu apa yang ia lakukan saat ini adalah benar atau salah. Mendekati keluarga Shannon pun ia tidak cukup berani, bagaimana caranya ia bisa meminta maaf?

Ia tetap berada di rumah sakit sampai mendengar kabar kalau Shannon akan baik-baik saja. Shannon memiliki luka cukup berat di kedua kakinya, untungnya tidak sampai patah. Dilengan kirinya terdapat luka memar akibat terbentur dengan aspal. Pergelangan tangan kanannya patah. Dan dikepalanya terdapat sedikit kebocoran akibat benturan dengan aspal. Tapi, dokter mangatakan ini akan baik-baik saja. Bagaimana bisa? Ini cukup parah!

Audy tidak segera beranjak pergi dari rumah sakit, ada rasa ingin menengok dan melihat kondisi Shannon. Ia mencoba untuk mencari kesempatan untuk masuk ke dalam ruangan dimana Shannon dirawat, tapi kerabatnya terus-terusan bergantian memasuki ruangan dan ponselnya pun terus berdering meronta-ronta untuk memberikan pesan agar Audy cepat pulang ke rumah karena ibunya yang telah menunggunya. Akhirnya ia mengurungkan niatnya.

Setelah mendapatkan beberapa informasi dari perawat yang mengurus Shannon, ia pun pulang dengan rasa menyesal.

HIGH SCHOOL LIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang