KAVINDRA
"Dok?"
Pria umur 25 tahun yang dipanggil itu tersenyum, lalu menegakkan punggung dan menoleh. Dia nggak kaget melihat tampang horor perawat spesialis di belakangnya, berharap semoga setelah ini wanita itu tahu kalau seorang Kavindra nggak tertarik sama kaum hawa dan masa bodoh dengan rumor yang bakal menyebar ntar.
"Yep?" tanyanya ringan.
"Uh," perawat tersebut tampak pucat, melirik bocah yang barusan nggak sadarkan diri lagi di ranjang depan. "Saya... sudah memeriksa hasil EEG, EMG, ENG pasien dan tidak ada yang janggal."
"Oke."
"... boleh saya ijin keluar?"
"Boleh," Kavin tersenyum, menerima berkas-berkas laporan dari tangan gemetar wanita tersebut dan membiarkannya pergi secepat mungkin.
Kavindra Lochan Pratista adalah bungsu dari lima bersaudara dan prodigy di dunia kedokteran karena bisa menjadi spesialis menginjak umur 25, setelah satu dekade sebelumnya membuat headline di koran-koran lokal tentang jenius yang diterima salah satu universitas ternama Indonesia, fakultas kedokteran pula. Dia dan kakak sulungnya (alias ayah Andira) terpaut tujuh belas tahun, jadi ketika Andi lahir, usia mereka selisih empat tahun saja. Kakak ketiganya (alias ayah Dewa) menikah muda juga dan begitulah―alih-alih jadi om dan ponakan, hubungan Kavin-Andi-Dewa lebih mirip saudara sepantaran.
Dia nggak kaget sebenernya ketika menerima sekitar empat sampai lima pasien beberapa hari lalu dengan Andira yang cengar-cengir di meja administrasi, dengan santainya bilang itu kecelakaan. Koas yang magang juga tahu semua bukti otentik yang ada di tubuh para korban menunjukkan itu bekas tinju dan tendangan. Tapi pas Andi bilang alesan dia apa, mau nggak mau ikut Kavin gemas juga.
Dokter berambut light blonde panjang melebihi bahu yang selalu terikat longgar itu melirik pasien bernama Bram di samping. Dia yang lukanya paling parah dan sampai koma lima hari karena cedera otak (Kavin perlu mem-briefing Andi untuk nggak membuat rumah sakit mereka tambah susah). Cowok dengan ekspresi keras itu kini memejamkan mata, kelihatan kayak lagi mimpi buruk, dan itu membuatnya geli.
Pingsan karena ciuman? Yang benar saja.
Manik mata berwarna kelabu―nyaris pucat―miliknya meneliti lagi laporan di tangan. Bramastha Rakyan, 18 tahun.
Dia nggak akan membiarkan Andira dan Dewa aja yang bersenang-senang dengan bocah ini nantinya.
BRAMASTHA
"Gue mau pulang hari ini."
Karena sumpah demi kalkulus dan algoritma, dia bisa mati kebosanan kalau harus tinggal lebih lama lagi.
"Lo nggak bisa~" dokter brengsek yang beberapa hari terakhir membuatnya sakit kepala menanggapi ringan, dua tangannya sibuk meletakkan bunga aster di vas kaca.
"Ini udah dua minggu lebih," protes Bram. "Gue mau pulang."
Dokter itu berhenti menata, lalu bersedekap. Dia melangkah ke arah Bram, mengangkat sebelah alis dan menjilat bibir bawahnya sejenak. Mengingat bagian itu menempel di bibirnya beberapa hari yang lalu membuat Bram ingin muntah. Dia takut, entah kenapa, tapi tetap mempertahankan posisi duduk tegaknya.
"Emang siapa sih yang bakal nyambut elo di rumah?"
Itu pertanyaan yang enggak dia duga, membuat Bram mengeraskan rahang. Dia emang nggak punya siapa-siapa di sana, tapi bukan berarti rumah sakit lebih baik ketimbang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Don't Give Two Fucks [in ed.]
Romance[sekuel i dont give a fuck.] lanjutan kisah Renaro, mantan playboy sekolah yang jatuh ke tangan Dewata, si Ice Prince yang katanya sih dulu aseksual, disaat hubungan mereka kecium anak satu sekolah. Juga tentang Wandaru, temen Ren sekaligus tetangga...