N

7.2K 564 107
                                    

N for Nararya's origin

time set : before IDGAF & IDGTF



Kalau ada hal yang pernah dia pelajari dari orangtuanya sebelum mereka meninggal, Arya bakal menjawab itu adalah tentang hidup susah. Bukan, ayah ibunya bukan stereotipikal orangtua ideal dimana sang ayah adalah PNS dengan pemasukan teratur sementara sang ibu pintar memasak dan merawat rumah―mereka berdua jauh dari kata itu, dan Arya nggak tau apa dia harus bersyukur atau bersedih ketika ayah ibunya resmi bercerai sepuluh tahun lalu, hanya untuk meninggal dua bulan setelahnya karena satu kecelakaan pesawat dan satunya overdosis pil relaksan.

Bagaimana mereka bisa bercinta dulu, dia benar-benar penasaran. Lagian, kenapa juga ibunya nggak aborsi dari awal? Lahir ke dunia dan hidup sampai mati datang lebih merepotkan dari kedengarannya, hei.

Anehnya, dari lingkungan sekacau itu Arya tumbuh menjadi individual yang pasif-apatis, serta menyerahkan keputusan pada sisi intuitifnya tiap menghadapi waktu-waktu genting. Dia juga nggak gampang marah ataupun menangis.  Arya perlu banyak belajar tentang emosi, mendiang neneknya pernah berkata, karena nggak ada manusia yang lahir dengan kemampuan membaca pikiran. Kau bilang atau ekspresikan, tapi bagi Arya keduanya terdengar sama merepotkan.

Dipikir-pikir lagi―semua di dunia itu merepotkan.

Bertahan hidup merepotkan. Cari uang merepotkan. Sekolah merepotkan. Interaksi dengan orang merepotkan. Bahkan bernafas sebenarnya merepotkan, tapi karena kegiatan itu sudah dia lakukan sejak 17 tahun terakhir, apa boleh buat.

"Ar! Kita pinjem PR Mat sama Kimia dong."

Yang dipanggil menoleh. Dia mengeluarkan dua buku tulis lusuh dari laci meja, menatap datar tiga pasang mata di depannya.

"Bayar goban," Arya berkata, "untuk tiap mapel. Kalian bertiga."

"Tapi kan buat Matematika cuma lima nomor doang!" salah satu anak, Dedi, berseru nggak terima.

Arya mengangkat bahu. "Yaudah, lo kerjain sendiri tuh lima nomor."

"Udah lah Ded, pake nawar lagi lo ke Arya," gerutu satu anak lain yang sudah mengeluarkan dompet dari saku. "Tinggal sepuluh menit lagi noh istirahat, mau apa lo dihukum kek kemaren di depan kelas??"

"Ah anjing lo Ar," Dedi mengerang, dengan enggan mengeluarkan dua lembar uang kertas biru. "Gila banget sih ngasih tarif. Ke temen sendiri juga."

Yang diajak bicara cuma bungkam, nggak peduli. Teman? Kata tersebut hanya sebuah ideal. Menurutnya itu hal ketiga yang mustahil ada selain keluarga dan cinta, benar kan?

"Pak Budi juga tai, ngasih soal tingkat olimpiade gini," terdengar gerutuan lain. "Bajing abis. Anak-anak pinter pada pelit ngasih contekan, eh sekalinya dapet harus keluar duit. Sama aja anjing."

"Lo," Arya menoleh, menghela nafas dan menatap datar cowok rambut jabrik di depannya, "kerjain gak pake suara bisa?"

"Bacot lo Ar. Udah dapet 300 rebu diem aja."

"Kalian yang bacot. Udah goblok, bacot, idup lagi." Arya memutar bola mata.

"Eh kunyuk, lo cari masalah?!" Dedi naik pitam, membanting pensil dan menggebrak meja. "Cuma modal pinter doang diem deh lo!" cowok itu merebut satu buku PR Arya, merobeknya jadi dua.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 08, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

I Don't Give Two Fucks [in ed.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang