BRAMASTHA
Hari ini nggak jauh buruknya sama kemarin, pikir Bram sambil bersungut-sungut menuju kelas XIC IPA. Meski dia udah ngancam Ren sekalipun, ekspresi pias anak itu nggak sebanding sama tatapannya yang jauh beda―seolah-olah mengasihani Bram, dan dia membencinya. Mana sore nanti dia harus ke RS buat jemput dokter sinting itu pula. Anjing.
"Bram?"
Yang dipanggil menoleh. Ada Adit di depan pintu kelas mereka. Temannya satu itu mengerdip dan hell, kondisi anak itu masih kelihatan mengerikan.
"Lo udah dibolehin masuk?" lanjut Adit, sedikit senyum tersungging di bibirnya.
Bram mengangguk. "Gue disuruh ikut fisioterapi sama psikoterapi masihan, tapi mereka bilang badan gue sembuh lebih cepat dari orang normal," tukas dia. "Anak-anak lain mana?"
Adit nggak langsung ngasih jawaban. Dia cuma natap Bram, meringis, dan Bram menghela nafas. Jadi mereka beneran bubar? Menyebalkan.
"Lo masih mau bales dendam ke Ren sama Wanda?" tanya Adit lagi.
Bram mengiyakan. Rahangnya mengeras. "Gue nggak peduli gimana, pokoknya mereka harus gue bales."
Adit gelagapan. "T-t-tapi... tapi... "
"Gue tau," Bram memaksakan diri nyengir, menepuk bahu temannya pelan. "Kali ini gue nggak mau kalian terlibat. Kalo misal cowok kemarin bunuh gue habis gue bales dendam juga peduli setan."
"Lo bercanda kan?" Adit mengernyitkan alisnya, sedikit banyak khawatir dengan kondisi mental dia. "Apa akal sehat lo belum balik dari koma?"
Yang Bram lakukan cuma tertawa.
Memang, buat apa dia terus hidup kalau alasan untuk melanjutkan itu aja dia udah gak punya?
***
Bram mengecek waktu di hapenya. Sudah pukul setengah lima. Bunyi sms dari Kavin tadi siang adalah untuk menunggunya di lobi rumah sakit sekitar jam empat, dan disinilah dia sekarang―anak SMA dengan beberapa plester di wajah kelewat pucat dan seragam lengkap yang dia pakai berantakan, tas punggung nyaris tak berisi serta headset terpasang di kedua telinga. Kakinya hampir kesemutan. Bahunya pegal. Tatapannya kosong, namun ekspresinya menggelap untuk tiap menit yang berlalu. Dia masih nggak terima sama syarat yang diajukan sang dokter.
Mau bawa orang asing ke rumah? Ha. Teman-teman segengnya aja belum pernah ada yang dia ajak masuk ke sana.
Seseorang berdiri di depan kakinya, dan Bram menengadah. Dia mengeraskan rahang melihat sosok yang dia benci menatapnya rendah.
"Udah siap?" tanya dokter itu ceria.
Bram mendecak. "Lo dandan dulu ternyata. Pantes lama."
Dokter itu menyeringai. Dia keliatan lebih mirip turis kesasar dengan kemeja katun lengan pendek warna cyan bercorak hibiscus putih. Rambut panjang flaxen yang selama ini dia ikat longgar, sekarang dikuncir tinggi-tinggi―dan apa itu tindik di telinganya? Empat biji pula? Dia juga pakai sneakers merah dan jogger-pants hitam selutut yang mengekspos panjang kakinya yang gak kira-kira.
"Apa boleh buat, gua harus tetap tampil modis kemana-mana."
"Banci lo," desis Bram geram.
"Kayak elo enggak aja~" dokter itu mencolek dagunya, mengedipkan sebelah mata.
"Najis," Bram menepis kasar tangan tersebut, lalu berdiri dan menatap tajam sang dokter. Anjir abis lah. Tinggi dia yang mentok cuma serahang pria itu bikin dia ngerasa agak minder. Bram menusukkan telunjuknya ke bahu si dokter, deket tulang selangka.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Don't Give Two Fucks [in ed.]
Romance[sekuel i dont give a fuck.] lanjutan kisah Renaro, mantan playboy sekolah yang jatuh ke tangan Dewata, si Ice Prince yang katanya sih dulu aseksual, disaat hubungan mereka kecium anak satu sekolah. Juga tentang Wandaru, temen Ren sekaligus tetangga...