E

16.8K 1.6K 201
                                    

WANDARU

Wanda beneran nggak ngerti kenapa empat hari terakhir dia rasa Dewa makin sering jalan sama dia ketimbang sama Ren. Cowok dengan rambut hitam berantakan itu juga punya kantung mata, demi Tuhan. Seumur hidup baru kali ini Wanda lihat Dewata Pratama punya lingkaran hitam di bawah mata karena―apa sih, kemungkinan yang bisa bikin cowok satu itu begadang sampai larut malam? Belajar? Jangan bercanda.

"Gue disuruh om nge-hack mulu," jawab Dewa sambil menguap, ketika siang itu Wanda bertanya. "Dia bilang buat urusannya Bram. Dasar benalu."

"Lo nge-hack kan gak butuh semaleman, Wa," Wanda menyeruput jus jeruk miliknya sambil melirik si tetangga. "Lagian setau gue hacking bikin lo seneng, bukan frustasi kayak gini."

Itu benar. Selain punya kantung mata, Dewa juga belakangan uring-uringan. Wanda nggak keberatan sebenarnya karena dia suka lihat sohibnya itu bisa ekspresif juga, tapi dia rasa kelamaan badmood juga nggak baik kan?

"By the way. Ren mana ya?"

Daaan itu dia―tiap dia mention nama si pirang, tubuh Dewa jadi kaku dan cowok itu kayak pengen bunuh diri aja.

"Lo lagi tengkar sama dia?" kejar Wanda lagi.

"Enggak," ucap Dewa, lebih pelan. "Cuma dia bilang kalo di sekolah, gue nggak bisa monopoli dia."

Wanda mengerjap. Eh?

"Tapi gue nggak tahan, Wan. Lihat dia kumpul bareng anak lain, ngomong sama anak lain, ketawa gara-gara anak lain, disentuh sama anak lain, tatapan sama anak lain―aaargh!"

Dewa mengacak rambutnya, tampak kesal. Cowok itu bahkan menghantamkan dahi ke atas meja kantin dan membuat suara yang cukup keras, tapi nggak ada tanda-tanda dia kesakitan atau apa. Wanda bengong selama sedetik, merasa deja vu karena Ren punya sikap yang sama, sebelum kemudian senyumnya mengembang.

"Lo bener-bener cinta ya, sama Ren?"

"Gue cinta dia?" ulang Dewa, mengangkat kepala dan tertawa miris. "Gue rasa level gue udah di tingkat obsesi, lo tau? Dan itu nggak baik kan? Gue nggak mau jadi overprotektif. Gue nggak mau jadi psycho."

Wanda memiringkan kepala. "Tapi lo pengen kan nyimpen dia buat diri lo sendiri? Ngurung dia di kamar biar nggak ada orang lain yang bisa nyentuh atau lihat dia? Ngeklaim dia jadi milik lo aja selamanya?"

Dewa mengedipkan mata. "Iya. Pengen banget."

Wanda tertawa keras. "Itu artinya lo udah psycho, anjing! Hahahaha ya ampun Dewa, anjir, sekalinya aja lo suka sama orang langsung jadi serem banget! Ah, kasian kan gue sama Ren jadinya, hahahaha!"

Yang dikatain cuma merungut. "Nggak lucu, Wanda."

Si rambut cokelat memutar bola mata. Dia melihat jam tangannya, kemudian bangkit sambil membawa gelas plastik yang telah kosong.

"Ayo balik," ajak dia, ringan. "Kalo lo bisa nahan diri sampai sejauh ini, Wa, lo termasuk hebat," cowok itu nyengir.

"Lo nggak ngerti," Dewa mengerang. "Ada cewek yang ngincer Rena dan bilang bakal bikin Rena suka sama dia apapun caranya."

Wanda mengerjap. Entah kenapa pernyataan barusan lebih mirip posisinya sama Andira dan sang adik. Eh, tapi, dia kan nggak suka sama Andi? Dan masa Andira suka dia? Kata Dewa sih Andira beneran suka. Terus buat apa dia pacaran sama adeknya coba? Ugh, Wanda rasa dia harus pergi refreshing lagi habis ini.

"Lo yakin dong kalau Ren cuma suka lo," Wanda mengacak rambut sahabatnya. "Sabar, Dewa."

"Basi," decak Dewa, tak ayal ikut bangkit. "Bosen gue jadi sabar. Emang gue Andi apa, yang bisa sabar ngadepin kelemotan elo."

I Don't Give Two Fucks [in ed.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang