set : bogor, 2003
dewa, 5th; candra, 8th
Malam itu, acara santap di rumah keluarga Dewa lebih hening dari biasanya. Anak nomor dua umur lima tahun tersebut tahu orangtuanya tidak pernah menerapkan aturan ketat seperti tak boleh berbicara selama mereka makan atau apa—tapi memang karena tak ada di antara 4 anggota keluarga yang ingin bertukar kata.
Dewa ingat bagaimana di TK, anak-anak seumurannya selalu berisik dengan suara kunyahan, tangis dan tawa, juga teriakan cadel tentang sayur yang mereka benci atau apa rasa susu kotak paling manis. Kalau itu juga yang mereka lakukan di rumah masing-masing, apa ini berarti hanya keluarganya yang abnormal?
Usai makan malam, alih-alih bangkit untuk pergi seperti biasa, orangtuanya tetap duduk dan menatap ke seberang meja.
Dewa kecil cukup pintar untuk mengerti itu bukan ditujukan pada dirinya.
"Kenapa Pa, Ma?"
Dari sudut mata, Dewa bisa melihat senyum sang kakak terkembang
Ah. Apa bisa mereka disebut saudara? Dewa tidak begitu yakin. Dari segi fisik, mereka berdua seperti langit dan bumi. Dia yang memiliki rambut dan iris hitam, kontras dengan sang kakak yang berambut putih dan bermata hampir merah. Berdasarkan informasi dari ensiklopedia biologi yang pernah dia baca, kakaknya menderita albinisme. Dewa lupa detailnya, tapi itu membuat sang kakak tidak termasuk golongan normal. Karena itu juga alih-alih pergi ke sekolah, kakaknya memiliki tutor sendiri yang setiap empat hari seminggu datang ke rumah.
Dari segi karakter.. mereka juga berbeda, mungkin? Sang kakak selalu tersenyum dan berlaku ramah bahkan pada orang yang baru mereka kenal, beda dengan Dewa yang memilih pengasingan dan solitude bahkan dari anggota keluarga sendiri
"Candrakanta. Ini sudah tutor kedua puluh tiga yang kamu kirim ke rumah sakit."
"Dua puluh dua, Pa. Luka bakar kemarin nggak separah itu untuk dirawat di rumah sakit," Candra menjawab dengan nada geli.
Dewa melihat bagaimana ayah ibunya bertukar pandang.
"Papa nggak peduli sama kondisi mereka, tapi kalau nanti mereka sampai lapor, kamu bisa masuk penjara."
"Candra masih delapan tahun, Pa. Bisa Candra karang kalau mereka predator anak dan offense kemarin cuma bentuk pertahanan diri."
Kali ini Dewa berani menoleh untuk menatap sang kakak terang-terangan. Seingat dia, usia untuk bisa dijatuhi pidana adalah 12 tahun. Tapi kalau orangtua mereka menunggu sampai 4 tahun lagi, entah sudah berapa ratus korban yang kakaknya makan nanti.
"Kalau papa mama nggak lagi sibuk ngurus bisnis keluarga, kamu sudah kami didik pakai cara sendiri," kali ini ibunya angkat suara, terdengar antara jengkel dan bosan.
"Candra," ayahnya menghela nafas. "Gimana kalau pakai hewan saja untuk kelinci percobaan? Urusan sama manusia itu lebih rumit dan menguras tenaga."
Sunyi untuk sesaat.
"... kalau Candra pakai Dewa boleh?"
Dewa bisa merasa punggungnya mendadak dingin. Entah sejak kapan sang kakak sudah merangkul lehernya dengan akrab, senyum manis terkembang di wajahnya yang pucat. Rambutnya yang panjang sebahu jatuh menggelitik pipinya, dan Dewa mengerjap melihat binar di iris merah Candra yang mengintip di balik bulu mata sewarna sutra.
Ah. Ambisi selalu membuat kakaknya tampak mempesona.
"Asal Dewa nggak keberatan," ayahnya menjawab datar.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Don't Give Two Fucks [in ed.]
Roman d'amour[sekuel i dont give a fuck.] lanjutan kisah Renaro, mantan playboy sekolah yang jatuh ke tangan Dewata, si Ice Prince yang katanya sih dulu aseksual, disaat hubungan mereka kecium anak satu sekolah. Juga tentang Wandaru, temen Ren sekaligus tetangga...