G

17.4K 1.5K 297
                                    

WANDARU

Wanda tengah duduk di sofa ruang keluarga dengan kapas dan plester berceceran di meja kaca, meringis ketika cairan antiseptik membuat luka lecetnya semakin perih. Cowok itu tahu dia dan Ren unggul dua lawan satu sebelumnya, tapi di kelompok mereka dulu, Bram yang punya kekuatan paling besar. Sesimpel apapun serangan anak itu, nggak pernah boleh dianggap mainan.

Cuma ya itu―gimana mungkin Bram kalah dari mereka? Dia dan Ren bahkan nggak sampai patah hidung atau dislokasi tulang, luar biasa.

Walau sedikit banyak senang dia nggak perlu babak belur lebih dari ini, perilaku Bram masih terbilang aneh. Wanda menghela nafas, berhasil menempel plester di ujung lengan bawah sikunya, memutuskan untuk mengabaikan hal itu sekarang.

"Kak Wan? Lo habis berantem?"

Wanda berjengit. Dia kaget lantaran tiba-tiba Dinda sudah menghempaskan diri di sampingnya, membuat bantalan sofa semakin menurun. Jujur saja, ini kali pertama dia bicara face-to-face dengan adiknya setelah sekian lama karena semenjak insiden di Hydra, rasa bersalah selalu menghantuinya.

"Eh? Oh, enggak," Wanda meringis payah, "gue cuma kepeleset pas main basket hahahah."

"Tapi lo nggak bisa basket, Kak."

"Shit bener, gue lupa," Wanda mengerdip, kemudian terkesiap. "M-m-maksud gue pas pelajaran olahraga kita maen basket, terus gue kepeleset pas lari hahahah!"

"Kan lari juga lo nggak kuat, Kak?"

Wanda menutup mukanya. Ampun deh. "Sori."

Dia mendengar Dinda tertawa kecil dan jujur, itu sedikit banyak membuatnya ikut tersenyum. Wanda kira adiknya akan marah atau kesal karena beberapa hari kemarin dia terus-terusan menghindar, tapi mungkin cewek itu nggak peka-peka amat ya?

"Nggak apa," tawa Dinda mereda, dan Wanda melihat bagaimana sang adik mengusap ujung mata yang berair, sebelum meliriknya. "Gue mau tanya sesuatu, dan kali ini lo nggak bisa kabur."

Hm? Tubuh Wanda mendadak kaku. Sial. Dia tersenyum gugup. "Hahahaaa... apa maksud lo? Kabur? Kapan gue kabur, hahaha... ?"

Yang ia dapat hanya tatapan datar.

Fuck. Wanda menunduk. "Oke. Sori lagi. Lo boleh tanya."

"Kenapa... lo cium Kak Andi?"

Jantung Wanda merosot. Mata cowok itu melebar, menatap ekspresi adiknya yang entah kenapa masih aja seperti bosan.

"Lo... gimana... siapa... ," mulut Wanda megap-megap kayak ikan lantaran di otaknya udah banyak pertanyaan terbentuk tapi proses keluarnya sulit banget.

"Gue lihat sendiri," Dinda tertawa antara sinis dan pahit. "Kenapa, Kak?"

Bibir Wanda terasa kering.

"Lo tau gue suka dia.Lo juga tau gue pacar dia. Dan lo kakak gue, jadi kenapa―"

"Tapi gue yang pertama suka."

Ah, benar juga. Kenapa dia baru sadar sekarang?

Senyap. Wanda merasa begitu malu sampai nggak bisa natap adiknya. Dia hanya menunduk, mengawasi tubuh Dinda yang juga bergeming dengan ekor mata. Si kacamata tahu setelah ini sang adik bakal benci dia setengah mati, tapi apa boleh buat. Dia masih ingin bersama Andira, dan itu nggak akan kesampaian kalau adiknya masih nggak tahu tentang perasaannya kan?

I Don't Give Two Fucks [in ed.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang