Prolog

90 7 3
                                    

Aku selalu menyukai aroma rumput yang dipotong dengan mesin tiap dua minggu sekali di halaman belakang rumah. Entahlah, kalau kebanyakan orang menyukai petrichor, maka tidak denganku. Aku tidak membenci petrichor, hanya tidak terlalu mengharapkan. Aku juga tidak pernah menunggu hujan reda untuk menikmati aroma dari bakteri hujan itu. Aku tidak seperti dia.

Ya, dia sangat mencintai petrichor. Dia akan duduk seharian di balkon ketika hujan telah samar-samar reda. Dengan kopi yang mengepul dari cangkirnya membentuk gumpalan-gumpalan asap yang berbau harum. Dengan majalah otomotif terbaru koleksinya. Dan juga aku.

Meskipun kadang dingin menerpa kulitku, tak masalah. Asalkan dia di sisiku untuk memelukku, tak apa. Karena kehadirannya mampu mengalahkan ribuan aroma potongan rumput basah kesukaanku... dan kehadirannya sanggup mengusir tusukan-tusukan dingin di permukaan kulitku.

Kala itu, setiap saat setelah hujan di bulan November hingga lima musim berikutnya, kami hanya akan menghabiskan sore bersama. Walaupun tidak setiap hari, tak mengapa. Namun semuanya tak sesuai dengan yang diharapkan. Mau bagaimana lagi, pernikahan tak bisa dipaksakan ketika tidak ada lagi kepercayaan di dalamnya. Kami berpisah begitu saja, tanpa kepastian atau apapun. 

Pada musim pertama... Awal November bahagia, masih ada kecanggungan ketika aku harus memanggilnya Mas karena dia adalah suami sahku. Awalnya aku hanya menatapnya dari balik jendela. Aku takut... aku takut dia takkan mengijinkanku bergabung dengannya di sana. Tapi lama-kelamaan, di akhir bulan ke-sebelas itu, aku ketahuan memandanginya yang telah menikmati aroma petrichornya. Ia menyuruhku duduk di sampingnya. Tak ada obrolan. Hanya diam yang menenangkan.

Pada musim kedua... kecanggungan itu berubah menjadi ketentraman luar biasa. Meskipun kami tidak bisa menghabiskan waktu sore di balkon dan menunggu kesukaannya, setidaknya kami akan berdiri di depan televisi sambil menikmati popcorn yang ia masak sendiri untukku.

Pada musim ketiga... orang ketiga itu muncul... dia cemburu. Cemburu buta. Setiap hari isinya cemberut dan khawatir. Aku maklum. Ketika itu aku secara tak sadar menjauhinya. Tak kuat berlama-lama berdua dengannya. Dan dia maklum. Tapi perhatiannya tak pernah surut untukku dan orang ketiga itu. Bisakah dia lebih baik dari ini?

Akhir musim keempat... orang ketiga yang ia cemburui itu benar-benar hadir. Orang ketiga itu bernama Revinda Khanuza Hagestin. Dia cantik sekali. Aku mencintainya—kami sangat mencintainya. Tak ada yang lebih sempurna dari ini. Kurasa hidupku takkan bisa lebih bahagia dari kali ini.

Awal musim kelima... semuanya perlahan berubah. Semuanya tak lagi sama. Ketenangan-ketenangan dan ketentraman itu perlahan surut. Jika kupikir Vinda adalah pelengkap hidup kami yang longgar, aku salah besar. Justru karena perempuan kedua dalam rumah inilah dia menjauhiku. Jika yang kuinginkan adalah kami bertiga menghabiskan waktu di balkon dan menikmati aroma petrichor kesukaannya, maka itu semua hanya angan. Dia marah. Dia marah karena aku akan kembali ke dunia hiburan seperti sebelum menikah dengannya. Ia takut aku akan menelantarkan Vinda. Padahal aku tak bermaksud begitu. Aku hanya ingin melunasi kontrak yang telah kusepakati sebelum cuti. Hanya itu. Tapi dia keburu salah paham dan memilih menghindar dariku.

Pertengahan musim keenam. Semuanya berakhir. Benar-benar berakhir. Kami berpisah begitu saja. Tak ada surat perceraian. Tak ada gugatan ke pengadilan. Hanya tiba-tiba dia pergi ke Singapura tanpa memberitahuku dan tidak pulang sampai tiga bulan berikutnya. Aku diam. Asal bersama Vinda, aku kuat. Kemudian dia bilang dia akan tinggal di Jerman untuk mengurusi cabang perusahaan tempatnya bekerja. Aku hanya mengiyakan. Karena di sini posisiku salah dan dia telanjur menarik kesimpulan sendiri. Aku sudah mencoba menjelaskan, tapi tak ada gunanya.

Dan sampai sekarang. Hampir musim ke-delapan dalam pernikahan kosong kami... tidak ada tanda-tanda dia akan kembali. Bukannya dia tak bertanggungjawab. Oh dia seorang kepala keluarga yang baik. Dia mengirimi entah berapa dollar perbulan ke rekening khusus yang kami buat sebulan setelah pernikahan dulu. Tapi tak pernah kugunakan. Aku masih bisa menghidupi malaikat kecilku dengan keringatku sendiri. Aku tak ingin memanfaatkan dia disaat hubungan kami seperti ini.

Seakan masalah tak pernah letih menerpaku, aku mencoba terus bangkit. Aku tak mengapa dia tak mau bertemu denganku, asal jangan malas bertemu Vinda. Anak kecil ini tak pernah bersalah. Kamilah sebagai orangtua yang terlalu egois dan keras kepala. Entahlah...

Ting... tong...

Aku mendengar suara bel pintu. Tersentak kaget, aku menghentikan aktivitas mengenangku di halaman belakang rumah ini. Menuju ke pintu utama, kusempatkan menengok keadaan putriku di kamarnya. Dia masih tidur dengan damai. Syukurlah. Segera aku berjalan menyongsong siapa gerangan sang tamu di Minggu cerah ini.

"Iya..."

Ucapanku terputus begitu saja. Tenggorokanku seakan tercekat. Hampir saja aku menangis kalau saja aku tak ingat bahwa air mataku telah kering berbulan-bulan lalu untuk menangisinya. Dia... suami yang seharusnya masih menjadi ayah dari anakku. Berdiri di muka pintu dengan setelan kerja yang membuatnya tampak lebih gagah dari biasanya. Masih setampan dulu. Wajahnya mulus tanpa ada sehelai rambut halus, matanya menyorotku tajam. Ada sedikit luka di pelipisnya. Entah luka apa, yang pastinya masih baru. Lihatlah!! Dia kehilangan banyak berat badannya, kurasa. Pipinya terlihat lebih tirus dari terakhir kali kuingat.

Benarkah dia adalah suamiku? Kenapa terasa asing?

"Vina..."

"Mas..." lirihku dengan suara bergetar. Tidak! Jangan sekarang! Ini bukan waktunya untuk menangis. Meskipun aku sudah menyembunyikan rinduku dengan sangat baik, tak dinyana kala berhadapan dengannya, rindu itu bisa meluap sewaktu-waktu.

"Apa kabar? Kamu baik-baik saja, kan?"

Aku membenci itu. Sorot mata iba yang ia lontarkan padaku. Tanda bahwa ia sudah mengetahui rahasia terkelamku yang membuatnya salah paham. Aku membenci itu... harusnya ia tak pernah tahu. Harusnya kalaupun ia tahu, harus dari mulutku sendiri. Tapi apa ini... ia tahu dari orang lain?




Mengelebukan MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang