Part 10

15 1 0
                                    


"Kenapa kamu nggak bilang padaku, Vin? Aku ngerasa jadi orang paling nggak penting karena tahu paling belakangan."

"Untuk apa, Mbak? Mbak tahu sendiripun akan sakit hati, bagaimana kalau aku yang bilang ke Mbak? Maaf, aku cukup tahu diri untuk tidak membiarkan kamu menyalahkanku, meskipun kenyataannya kamu sedang menyalahkanku sekarang."

Karin menggigit kukunya dengan gemetar. Meskipun usianya bisa dibilang bukan muda lagi, kelakuannya yang satu ini tidak bisa dihilangkan. Ia akan menggigit sesuatu—terutama kukunya—ketika dalam kondisi bingung, gugup atau dilema. Dan sekarang, ia merasakan gabungan dari ketiganya.

"Aku memang bodoh. Terus-terusan meyakinkan diri sendiri kalau Reno nggak bakalan suka sama kamu. Tapi ternyata, aku yang naif. Aku yang mengira dia akan terus di sampingku tanpa tertarik pada kamu yang jelas-jelas jauh lebih baik dariku di atas segalanya."

Karin terus berceloteh sementara Vina menahan mati-matian perutnya yang meminta untuk menengok kembali kepiting yang tengah ditelantarkannya. Dia lapar. Ini bukan main-main. Dia belum makan malam, dan terakhir kali dia memegang sendok adalah pukul satu siang tadi—kemarin. Karena sekarang sudah lewat jam satu dan Vina berusaha keras memfokuskan dirinya pada tumpahan mulut Karin.

"Aku udah tahu gejalanya. Aku tahu ada orang lain yang bercokol di hatinya. Tapi aku memilih menulikan telinga, membutakan mata dan memilih pura-pura tidak merasakannya. Tapi toh pada akhirnya aku yang sakit, karena tahu tebakanku tidak bisa dibilang salah."

"Terus sekarang Mbak mau apa? Mbak tahu, aku nggak suka sama Reno. Aku juga udah mau—"

"Aku bahkan belum berusaha menyatakan perasaanku dengan benar." Vina memutar kedua bola matanya. Sumpah, dia paling tidak suka perkataannya diputus dengan bualan tak penting berkepanjangan. Merasa tak dihargai saja. "Dia menolakku di swalayan. Bilang kalau aku jelas-jelas bukan tipenya. Jelas-jelas karena kemandirianku, dia merasa tak dibutuhkan. Jelas dia membutuhkan wanita sepertimu, yang selalu bersikap manja pada pasangannya."

Kalau wanita di sampingnya ini bukanlah Karin, Vina bahkan tidak akan peduli meskipun wanita itu meraung-raung sampai matanya mengeluarkan darah. Tapi demi Tuhan, Vina tidak bisa mengabaikan Karin yang tersedu-sedu begitu saja. Kepeduliannya bahkan lebih besar daripada rasa bersalahnya.

"Reno menyukaimu, itu sudah jelas. Dia juga bilang mencintai kamu. Tapi kenapa, meskipun berkali-kali aku meyakinkan diriku kalau kamu nggak bersalah, hatiku nggak pernah bisa berhenti menyalahkanmu."

Vina menampar Karin. Pelan. Demi mendapatkan perhatian wanita itu. Karin terkejut bukan main mendapat tamparan pertama Vina di pipinya. Perhatian Karin seluruhnya milik Vina sekarang.

Nggak dari tadi aja ya aku tamparnya, biar nenek sihir ini berhenti ngoceh, pikir Vina.

"Mbak, denger! Aku udah bilang kan berkali-kali kalau aku nggak pernah suka sama Reno! Jangan pikirkan kemungkinan lain karena aku akan tetap menikahi Ardi apapun yang terjadi. Jadi berhenti menganggap seolah aku akan merebut Reno. Meskipun toh nanti aku nggak bersama Ardi, harusnya aku bisa mencari laki-laki lain yang tidak dicintai oleh orang-orang di sekitarku."

Karin tertegun. Lama. Kemudian menangis lagi. Kali ini hatinya terenyuh atas orasi Vina yang berapi-api dan berhasil menyentil sisi logikanya. Ya, Vina mana mungkin mengkhianatinya. Vina mencintainya dan Karin tidak meragukan satu hal itu.

"Makasih."

"Mbak percaya, kan, sama aku?"

Karin mengangguk mantap. "Jadi itu sebabnya kamu meminta maaf waktu itu?"

"Iya. Maafkan aku, meskipun aku bukan pihak yang bersalah di sini, aku tetap harus meminta maaf. Secara nggak langsung, Mbak Karin pasti sakit hati karena bambu berkacamata itu."

Mengelebukan MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang