Part 8

23 1 0
                                    



"Kamu chatting sama Ardi, Rum?" tanya Vina ketika dia melihat teman sebangkunya itu sibuk dengan ponselnya. Padahal ini masih jam pelajaran.

Arum mengangguk antusias. "Kenapa, Vin?"

"Nggak apa-apa kok." Tapi bohong, lanjut Vina dalam hati.

Lidahnya sudah gatal ingin bertanya apa saja isi percakapan mereka berdua, tapi lagi-lagi demi menjaga hatinya sendiri, ia mengurungkan niatnya. Takut nggak kuat, takut tiba-tiba nangis kencang dan memutuskan untuk bergerak menikung Ardi. Ah, Vina harus pandai menjaga emosi kalau lihat Arum ketawa-ketiwi sendiri. Jadi insecure, takut hatinya patah sebelah.

"Chatting soal apaan sih? Kayaknya seru banget," ujar Vina yang tidak bisa lagi menahan rasa penasarannya. Bagaimanapun, posisinya itu lebih dari sekadar terancam. Secara, Ardi kan termasuk dalam jejeran cowok-cowok dengan berbagai macam prestasi. Dan otomatis kalau cowok berotak cantik, akan memilih pasangan yang sanggup mengimbangi pemikirannya. Jelas Arum menang banyak darinya.

Ih, kenapa jadi membanding-bandingkan dirinya sendiri dengan Arum sih? Mereka ini kan tidak sedang melakukan kompetisi. Arum aja nggak tahu kalau dia juga suka sama Ardi. Eh tapi, memangnya Arum suka sama Ardi? Iya kalau suka, kalau cuma... cuma... apa yah... berteman? Ah bodo amatlah!

"Hihi, cuma mau janjian habis rapat nanti."

"Janjian? Keluar? Ketemuan?"

Arum mengerutkan keningnya. "Apaan sih, orang cuma mau belajar bareng buat olimpiade aja. Emang kamu pikir apa? Makan bareng? Kencan? Ugh, kayak dia mau aja sama aku," gerutu Arum sambil meletakkan kepalanya di atas meja.

"Tapi kalau kamu diajak kencan beneran sama Ardi, kamu mau, kan?"

Tanpa berpikir panjang, Arum menjawab, "nggak lah Vin." Baru saja Vina bernapas lega, Arum kembali melanjutkan, "maksudku nggak mungkin Ardi ngajakin aku. Lagian sesuka-sukanya aku sama dia, aku juga nggak bodoh buat berharap bisa dapetin hati dia. Rata-rata cowok itu seleranya tinggi. Apalagi kalau dia ganteng. Aku sadar diri, aku mah apa, cuma sobekan plastik bungkus pembalut."

Vina hampir merosot. Dia memang tidak pintar, tapi tidak bodoh untuk kesulitan mengartikan perkataan eksplisit Arum yang notabene adalah cewek blak-blakan dan realistis. "Jadi kamu suka sama Ardi?" tanya Vina yang hampir tidak menghiraukan candaan Arum.

"Ya dibilang suka ya suka lah. Siapa sih yang nggak suka sama seorang Bendahara OSIS yang pinter, ganteng, ramah kayak dia? Semua cewek yang normal nggak akan mikir dua kali buat jawab pertanyaan itu, Vin."

Benar. Cewek normal dan baik akan mengiyakan begitu saja pertanyaan bodoh itu. Vina juga kalau ditanya—tanpa konteks kalau Arum juga suka sama Ardi loh—pasti bakal jawab iya tanpa pikir panjang.

"Iya sih."

"Lagian, aku juga nggak mengharap pacaran sama siapa-siapa. Ntar lah, pacaran setelah menikah."

Vina tersenyum. Sahabatnya memang bukan perempuan biasa.

♥♥♥♥♥

Hari-hari setelah Arum mengakui perasaannya, Vina jadi sering bengong. Sedikit-sedikit melamun, bentar-bentar tidak fokus. Pokoknya jadi tambah ceroboh dari biasanya. Kalau menghadapi pelajaran, bawaannya lihatin papan tulis tapi pikirannya tak ada di sana. Kalau lagi di kantin, dia pasti akan mengubek-ubek seluruh isi mangkuk makanannya sehingga menjadi bentuk yang tak berupa.

Bukannya semua itu luput dari perhatian Arum, cuma cewek itu juga bingung atas perubahan sikap Vina. Tiap ditanya, jawabannya hanya "Nggak apa-apa." Asal tahu saja, jawaban itu tidak cuma horor bagi cowok, tapi juga berlaku untuk Arum. Nah kan jadi frustasi sendiri.

Mengelebukan MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang