Part 1

62 4 0
                                    


Vina Karima sedang memamerkan lekuk tubuh proporsionalnya dari balik gaun merah marun sambil berpose elegan di depan kamera. Baru beberapa menit yang lalu ia mengisi tenggorokannya dengan cairan bertitel jus buah yang entah terdiri dari campuran apa saja, namun sekarang sudah mengering seperti kulitnya yang butuh perawatan lagi.

"Oke cukup! Kerja bagus, sayang!! Kembali lagi hari Rabu, jangan telat!" seru sang fotografer yang memiliki postur sedikit gembul sambil bertepuk tangan dengan kamera masih bergelayut di lehernya.

Vina tidak mengacuhkan dan memilih segera ke ruang ganti untuk melepas gaun sempit yang menghambat aktivitas berjalannya. Jujur, meskipun ia adalah seorang model kawakan yang sudah on the way to go international, ia sangat membenci gaun berpotongan mini-mini yang kalau dipakai terasa semriwing. Ia lebih suka memakai hot pants yang meski memiliki julukan yang sama; baju kurang bahan. Setidaknya, dia masih bisa jumpalitan kesana-kemari.

Setelah mengganti kostumnya dengan celana jeans panjang dan kaus ketat, ia berjalan mendahului manajernya menuju ke tempat dimana mobilnya berada. Lelah adalah yang dirasakannya saat ini. Dan berbaring di kursi belakang adalah pilihan yang tepat. Karena dia alergi AC, maka jalan satu-satunya adalah dengan membuka jendelanya lebar-lebar.

Ia tidak takut adanya serangan mendadak dari penggemar atau bahkan hatersnya karena lokasi tempat Karin memarkir mobilnya berada di lantai VIP gedung ini. Setidaknya ada banyak satpam yang mengawasi lantai yang tidak terbilang luas ini.

Vina sempat terlelap sebentar sampai ia merasakan mobilnya sedikit bergoyang. Ia langsung sadar dan bangkit duduk sambil mengerjapkan matanya. Untuk beberapa detik ia langsung waspada, dan kekhawatirannya mengendur kala sadar bahwa itu Karin.

"Ada jadwal lagi jam berapa?"

"Free. Kita balik ke apartemen apa ke rumah?"

Vina terdiam sejenak. Ada kebaikan dan keburukan pada masing-masing pilihan itu. Jika ia pulang ke rumah, ia akan bertemu dengan masakan rumahan yang selalu dia rindukan tapi juga berpotensial mempertemukannya dengan orang yang paling ingin dia hindari seumur hidupnya. Kalau di apartemen, ia terpaksa harus membeli makanan dari luar karena ia sudah terlalu lelah untuk memasak, namun belum terjamin kebersihannya.

Terlalu banyak pertimbangan dari otaknya sampai ia tersadar bahwa Karin tidak membawanya pulang ke rumah atau ke apartemen. Ia sedidkit bingung meskipun jalan ini sama sekali tidak asing dengannya.

"Mbak, ini perasaanku aja atau memang kita lagi jalan ke rumah Mbak?"

Vina lebih memilih menggunakan sapaan Mbak pada Karin karena usia mereka terpaut empat tahun alih-alih memanggil Karin seperti yang biasa anak muda lakukan jaman sekarang.

Karin tertawa. "Emang bener kok. Habisnya kamu lama banget bikin keputusannya. Ya udah, makan di rumahku aja sekalian nginep juga. Aku tahu kamu capek dan rumah aku selalu merindukanmu, makanya biar efisien."

Vina melotot sebal. "Sekalian aja kita tinggal bareng, terus aku diangkat anak sama Om Fadil."

Lagi-lagi Karin tertawa lepas. Untung saja mereka sedang di lampu merah, karena dia kalau tertawa tidak bisa tidak sambil bergoyang. Tubuhnya akan bergerak, bergetar dan bergoyang sesukanya, dan kadang-kadang justru membahayakan. Apalagi dalam keadaan menyetir. Vina dengan tidak sopannya melangkah menuju kursi depan tanpa peduli kalau tingkahnya sanggup membuat orang yang melihatnya dari kaca luar menggeleng-gelengkan kepala atau bahkan berkasak-kusuk. Lain halnya dengan Karin, acara manjat-memanjat, loncat-meloncat atau bahkan gulung-menggulung sepertinya sudah biasa kalau yang melakukan adalah seorang Vina Karima.

Mengelebukan MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang