Part 13

18 0 0
                                    

"Mama akan beberkan semuanya ke Ardi! Biar dia yang putusin hubungan kalian!"

Ismi sudah bangkit dari duduknya dan hendak pergi menemui Ardi, tapi kedua tangan Vina merantai kakinya.

"Enggak, Ma! Jangan!"

"Lepaskan! Kalau kamu nggak bisa mengambil keputusanmu sekarang, maka Ardi yang harus mundur! Dan jangan pernah berbohong soal kehamilan atau aku sendiri yang akan membunuhmu!"

"Bunuh aja aku! Bunuh! Vina lebih baik mati sekarang daripada Mama bilang semuanya ke Ardi!"

Ismi menatap Vina tanpa berkedip. "Baik! Susul saja sana Papa tercintamu itu! Mati saja seperti dia! Overdosis bukan kasus kematian yang membanggakan! Jadi setidaknya cari cara yang anggun dan tidak menjijikkan seperti itu!"

Dengan penuh tekad, Ismi menghempaskan tubuh Vina dan segera menyeret langkahnya pergi dari situ. Mengabaikan tangisan histeris Vina, Ismi memilih untuk menutup telinganya. Ia tidak peduli apapun lagi sekarang. Bagi Ismi, Vina boleh menikahi siapa saja laki-laki yang menurutnya baik. Tapi menikah dengan saudara sedarah? Mungkin takdir sedang bercanda mempermainkannya. Menurut Ismi, Vina boleh bodoh. Tapi tolol? Lantas, untuk apa pendidikan tinggi kalau memikirkan konsekuensi saja Vina tidak bisa?

Ismi yang tengah dilanda kekalutan parah, menubruk tubuh Karin yang tidak disadarinya telah berdiri di luar pintu sejak lama. Kalau dalam keadaan normal, mungkin Ismi akan memberikan pelukan atau sekadar senyuman untuk wanita yang lebih cocok dipanggilnya adik itu. Tapi, sekali lagi, dia tidak dalam keadaan baik sekarang. Tanpa memedulikan Karin, Ismi berlalu begitu saja. Dia sudah mengantongi alamat rumah orangtua Ardi berkat Inara yang entah kebetulan dari mana kenal dengan keluarga Ardi.

Di sisi lain, Karin yang mendengar percakapan aneh itu dari awal, segera menghambur masuk dan mendapati Vina tengah meringkuk memeluk dirinya sendiri. Pintu kesadaran mendobrak kepala Karin secepat dia membantunya duduk dan memeluk tubuh yang tampak rikuh itu. Tadinya dia tidak menyadari apa-apa, hanya berdiri terkejut mendengarkan pertengkaran ibu-anak dari balik pintu yang terdengar sangat jelas. Tapi sekarang, melihat keadaan Vina yang mengenaskan, akhirnya Karin paham. Dia sudah pulih dari rasa terkejut sepenuhnya.

Vina sudah berhenti menangis. Mungkin sudah lelah. Gadis itu hanya terisak sesekali dalam dekapan Karin. Usapan pelan di punggungnya tidak lantas membuatnya terbebas dari isakan. Justru ia semakin ingin menangis kala mendengar isakan Karin.

"Kenapa Mbak nangis?" tanya Vina.

Karin memukul lengan Vina. "Kenapa kamu bodoh banget!"

"Aku emang bodoh dari dulu. Mbak tahu itu."

"Seenggaknya gunakan bagian otak yang nggak bodoh untuk berpikir!"

Vina tertawa. Meskipun Karin mendengar tawa getir yang keluar dari mulut Vina, tak lantas membuatnya ikut tertawa sumbang juga. Karin melepaskan pelukannya dan meneliti lamat-lamat wajah cantik Vina.

Vina tahu, tanpa berucap, Karin sedang mencari persamaan antara wajah Vina dan Ardi. Vina juga paham kalau Karin tengah menjaga perasaannya yang lebih dari sekadar kacau sekarang. Karin selalu pengertian. Dan juga perhatian.

"Mbak," lirih Vina pelan.

"Hm?" tanya Karin seraya menghapus jejak-jejak basah di seluruh wajah Vina dengan telapak tangannya.

"Aku cuma mau nikah sama Ardi."

Tatapan Vina menerawang entah kemana dan itu membuat Karin semakin nelangsa. Dada Karin dipenuhi rasa sesak dan dia berusaha keras untuk tidak menangis di depan Vina. Bagaimanapun, gadis itu membutuhkan kekuatan untuk menopangnya, bukan kelemahan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 17, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mengelebukan MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang