Part 5

29 2 0
                                    


Vina baru menemui Karin dua hari berikutnya karena dia masih ditahan Ardi di apartemen lelaki itu. Sebenarnya Ardi tidak mengijinkan Vina untuk keluar selama beberapa hari, karena Ardi takut Vina bakalan kabur lagi. Tapi setelah melakukan perjanjian kecil, akhirnya Ardi bersedia melepaskan gadisnya itu menemui kakak kesayangannya dengan banyak pertimbangan. Vina hanya memutar bola matanya kesal karena kebebasannya dikekang.

Tapi di dalam hatinya ia merasa sangat senang karena Ardi begitu perhatiannya sampai-sampai memikirkan segala kemungkinan seperti itu yang bahkan tidak akan pernah Vina pikirkan lagi. Dia sudah lelah kabur-kaburan seperti itu lagi. Ia merasa sudah dewasa sekarang. Dan orang dewasa akan menghadapi masalahnya dengan berani, bukannya malah menghindarinya dengan cara kabur dan tidak bertanggungjawab.

Itu untuk saat ini. Entah untuk masa depan.

Plakk...

Vina mengumpat pelan ketika sebuah tangan keras menampar pipinya dan memberikan sengatan rasa sakit sampai ke seluruh tubuhnya. Kemudian sesosok memeluknya dengan erat tanpa berniat melepaskannya sampai beberapa detik ke depan.

"Mbak aku nggak bisa napas!!"

Baru setelah itu Karin melepaskan pelukan eratnya. Air mata tampak meleleh di pipi wanita itu, membuat Vina mau tak mau ikut menangis melihat keadaan Karin. Kantung matanya tak tanggung-tanggung, sebagai bukti jelas bahwa Karin mengkhawatirkan Vina. Rasa bersalah itu bersarang lagi di dadanya.

"Maafin aku, Mbak, maaf," rintih Vina sambil memeluk Karin yang tengah sesenggukan. Sakit di dadanya bahkan lebih hebat daripada sakit di pipinya, bekas tamparan Karin.

Ketika Karin tak bisa menahan bobot tubuh dirinya sendiri—ditambah Vina yang tengah memeluknya—ia hanya bisa meluruhkan kakinya di lantai. Mereka berdua berpelukan sambil jatuh terduduk di tengah-tengah ruang tamu rumah Karin, oh ralat, rumah Om Fadil.

Vina menggumamkan maaf berkali-kali hingga Karin berhenti menangis dan meninggalkan sesenggukan yang membuat Karin kesulitan bernapas.

"Bodoh!"

Karin memukul pelan bahu Vina dengan tenaga yang tidak seberapa. Mungkin lelah karena menangis. Sedangkan Vina hanya mengusap air matanya sendiri sambil berkata, "Pukul terus, Mbak! Harusnya Mbak tampar aku lagi. Ini nggak sebanding dengan kekhawatiran Mbak karena memikirkanku terus-menerus! Pukul lagi, tampar!"

Karin menampar Vina, kali ini di pipi kanannya. Meskipun Vina menangis, Karin tak menyesal telah memukul adiknya itu. "Kamu tahu gimana khawatirnya aku! Dan kamu masih tetap kabur kayak gitu! Kamu nggak tahu ketika aku berbaring di tengah ranjang sambil memikirkan, gimana kalau kamu sakit, pingsan di suatu tempat dan nggak ada yang tahu? Gimana kalau kamu nggak punya uang untuk pulang karena dompetmu kecopetan. Gimana kalau misalkan kamu bunuh diri dan nggak meninggalkan jejak apapun. Gimana kalau kamu... kamu..."

Vina memeluk Karin sekali lagi karena tahu Karin tidak akan melanjutkan ucapannya yang terlalu sakit untuk mereka berdua dengarkan.

"Aku janji... aku janji ini yang terakhir aku bikin Mbak khawatir lagi."

"Kamu bahkan nggak meneleponku dan hanya memberi kabar Ardi sialan itu!" hardik Karin.

"Aku minta maaf... aku minta maaf..."

Karin melepaskan pelukan Vina dengan paksa, menangkup kedua pipi Vina dan berkata dengan sungguh-sungguh, "aku tahu dari dulu kamu memang nggak percaya padaku—"

"Bukan—" Vina berusaha menyela namun Karin berhasil membuat gadis itu bungkam dengan menampar lagi pipinya.

"Gimana aku bisa tahu masalah kamu kalau kamu cuma memendam segalanya sendirian! Kamu juga butuh orang lain untuk bicara kalau tidak ingin kehilangan kewarasan! Kamu butuh orang lain untuk bersandar." Karin masih meluapkan amarahnya sambil sesekali terhalang oleh senggukannya.

Mengelebukan MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang