Dia kembali kecil..
Entah kenapa dia tahu saat ini sore hari. Mungkin dari warna sinar matahari yang mulai bergradasi dari kuning keemasan menjadi jingga kekuningan. Fase yang paling dia sukai dari siklus perputaran hari, karena, aroma sore di padang rumput seperti ini selalu sama, harum dan hangat.
Dia tahu, sore ini, di padang rumput ini, dia nggak sendirian. Di balik pohon rindang tak jauh dari tempat dia berdiri ini, ada seorang anak laki-laki sedang duduk melakukan sesuatu. Dia juga tahu apa yang anak laki-laki itu lakukan. Ia sedang merakit gundam.
Nah kan, benar! Anak laki-laki itu sekarang sudah selesai merakit gundamnya dan menampakkan diri dari balik pohon.
"Hei, sini! gundamnya udah selesai nih. Keren jadinya," anak itu memanggil dengan setengah berteriak. Kara menghentikan kegiatannya memetik bunga liar lalu bergegas menuju pohon rindang.
"Mana? Aku mau lihat dooong!"
"Iya, makanya ke sini cepetan!"
Lalu Kara mempercepat langkahnya. Tapi tiba-tiba kakinya terasa berat. Susah sekali mengangkat kaki untuk melangkah. Kara menunduk melihat ke bawah, dan apa yang dilihatnya membuatnya terkesiap ngeri. Rerumputan yang diinjaknya secara ajaib bergerak sendiri mengikat kedua kakinya erat-erat. Pantas saja susah dan berat. Sekarang bahkan tidak bisa bergerak!
"Hei! Kamu bisa nggak ke sini tolongin aku? Kaki aku nggak bisa bergerak nih!" suara teriakan Kara sedikit bergetar.
Anak itu mendengar jelas suaranya, Kara sangat yakin. Tapi Kara tak tahu kenapa ia tidak bergerak dari tempatnya untuk menolong Kara.
"Hei! Kok kamu diem aja sih? Aku takut nih. Sini dong tolongin akuuu," sekarang Kara sudah setengah menangis. Rerumputan itu merayap makin tinggi dan makin ketat melilit kakinya. Kara mulai sesak napas.
Tiba-tiba, terlihat sangat menakutkan di mata Kara, anak itu membalikkan tubuhnya memunggungi Kara.
"Hei! Jangan pergi!" Kara menangis panik.
Tapi anak itu berjalan menjauh. Makin lama makin jauh, makin terlihat mengecil dari sudut pandang Kara karena jarak yang semakin lebar. Lalu perlahan-lahan ia menghilang.
"Jangan pergi!" jerit Kara ketakutan sambil terisak-isak. Bagaimana ini? Kara sendirian dan ia menyadari kalau ternyata padang rumput ini luas sekali. Sejauh mata Kara memandang, ke arah mana pun, yang ia lihat hanya rerumputan tak berujung. Suasana sore yang tadinya hangat kini hening janggal.
Lalu tiba-tiba warna jingga sore lenyap seketika, berganti warna abu-abu kehitaman mencekam. Langit yang ramah kini dihiasi awan hitam tebal bergulung-gulung, ditingkahi suara petir yang menyambar-nyambar.
Kaki Kara tak bisa lepas walaupun ia sudah berusaha mencabuti rerumputan yang meliliti kakinya. Sulur-sulur itu alot sekali, dan tajam ternyata. Ada duri-duri kecil dan halus yang banyak sekali di sana, membuat tangan Kara yang sekuat tenaga menarik sulur itu perih sekali. Dan betapa ngerinya Kara, tetes-tetes darah mulai membasahi kakinya semakin erat sulur itu membelit, juga mulai bermunculan di jari-jari tangannya yang tergores duri halus.
"Aaaaargggggh!!!" Teriakan histeris Kara menghasilkan gema yang kedengaran seram di telinga kecilnya.
Teriakan itu terus bergema, sampai tenggorokan Kara tercekat, dan tak ada lagi suara yang keluar dari sana.
Akhirnya, Kara hanya berdiri mematung dengan segala ketakutan yang sesak, yang hanya bisa keluar sedikit demi sedikit lewat isakan kecilnya. Padahal dadanya serasa akan meledak karena begitu sempit rasanya di dalam! Rasa panik, takut, ngeri, dan setitik kepahitan sudah mengambil alih seluruh rongga hatinya, jantungnya, paru-parunya, pembuluh darahnya, dan tidak menyisakan tempat untuknya bernapas. Ia dengan ngeri menyadari kalau sendirian itu begitu mencekam dan menakutkan.
Siapa saja, tolong selamatkan dia!
***
Kara terbangun karena mendengar isak tangisnya sendiri, ia kaget beberapa saat lamanya, detak jantungnya memburu dan keringat dingin terasa di sekujur tubuhnya. Kara bergeming lama, lalu akhirnya hanya menatap nyalang langit-langit kamarnya yang gelap. Ia sendirian. Entah jam berapa sekarang, dan ia lega karena Eugene belum pulang. Kalau Eugene ada, ia akan khawatir melihat kondisi Kara, dan Kara akan harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak ingin ia jawab.
Mimpi tadi, sudah lama sekali Kara tidak memimpikannya. Dulu, beberapa tahun yang lalu, Kara sering sekali bermimpi tentang padang rumput yang rumputnya bergerak mengikat kakinya, anak laki-laki di balik pohon, gundam, petir dan awan hitam, juga darah. Dan dulu, kalau Kara memimpikan mimpi ini, ia akan histeris sampai ayahnya datang ke kamarnya menenangkannya.
Perasaan Kara sekarang jadi tidak karuan. Hatinya jadi terasa sakit sekali. Jenis rasa sakit yang dihasilkan dari rasa dibuang, rasa ditinggalkan, dan rasa kesepian. Dan rasa sakit itu sungguh traumatis baginya
Kara tidak bisa mengenali siapa anak laki-laki di mimpinya itu, karena wajahnya selalu tidak terlihat jelas. Dan suaranya, Kara selalu lupa bagaimana suara anak itu setiap kali ia bangun dari mimpi itu.
Kara tidak tahu kenapa ia bermimpi tentang itu lagi sekarang. Yang ia tahu, ia tidak akan mungkin bisa tidur lagi sampai pagi.
Kara lalu duduk dan meraih handphone di meja kecil di samping ranjangnya. Waktu menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Ia menekan beberapa kali, lalu menempelkan ponsel di telinganya. Beberapa saat terdengar nada sambung, sampai akhirnya ada suara di seberang sana menjawab panggilan telepon Kara.
"Papa?" suara serak Kara dengan susah payah menyapa. "Kara mimpi tentang itu lagi, Pa."
Dan tanpa ia rencanakan, air matanya kembali mengalir dengan derasnya.
***
Bandara Seokarno - Hatta, pukul 01.00 WIB dini hari..
Seorang pria paruh baya bersandar di palang pembatas tempat penjemput menunggu orang-orang yang mereka jemput keluar dari ruang kedatangan domestik. Ia berkali-kali melirik jam tangannya untuk memastikan kalau ia tidak salah waktu. Majikannya tadi bilang pesawat akan landing pukul 00.30, jadi harusnya sekarang orang yang ia jemput sudah akan keluar.
Pria itu memperbaiki letak kacamatanya sambil menatap satu per satu orang yang keluar. Tangannya memegang sebuah karton besar bertuliskan MAS EDGAR MAHENDRA. Ia berusaha memperhatikan sosok-sosok remaja berusia kurang lebih 18 tahun yang kira-kira sesuai dengan ingatannya akan Tuan Mudanya itu.
"Mang Ujang!" sebuah suara riang memanggilnya. Si pria paruh baya menoleh ke arah sumber suara, yang ternyata berasal dari belakangnya dan terkejut bukan kepalang. Pantas saja dia tidak mengenali si sosok MAS EDGAR MAHENDRA yang ditunggunya sejak tadi.
"Mas Edgar?" katanya heran. Suara yang dia ingat memang masih suara riang yang sama walaupun semakin berat. Tetapi penampilannya...
Hampir enam tahun lalu anak majikannya yang sangat manis dan penurut ini terpaksa harus pindah ke Surabaya bersama seluruh keluarganya. Dua tahun lalu, majikannya kembali tanpa membawa anak mereka ini. Dan sekarang, anak ini berdiri di hadapannya dengan penampilan yang sangat kacau balau. Kuping bertindik, wajah dihiasi bekas luka tipis yang membelah alis, dan band aid menempel di dagu. Topi baseball terbalik bertengger di kepalanya. Kemeja flanel kusam menutupi kaos belel hitam di baliknya, celana jeans robek-robek, dan sepatu sneakers yang entah sudah berapa abad tidak dicuci.
"Ini beneran Mas Edgar? Kok... kok Mas Edgar jadi begini?"
Edgar tertawa geli melihat kekagetan Mang Ujang, Sopir kesayangannya waktu kecil dulu. Memang Mang Ujang wajar terheran-heran melihatnya. Bahkan dirinya sendiri pun sudah tidak mengenali sosok Edgar Mahendra yang sekarang.
"Ya, karena waktu berlalu... Nggak ada yang nggak berubah di dunia ini," gumam Edgar dengan tatapan menerawang.
Mang Ujang hanya mengangguk mengiyakan pernyataan Edgar yang sepertinya bukan ditujukan untuknya. Ia dengan sigap meraih troli tempat koper dan tas Edgar diletakkan.
"Selamat datang kembali ke rumah, Mas Edgar," ujarnya dengan senyum tulus.
Edgar membalas senyum itu dengan senyuman tulus juga, yang sangat jarang ia keluarkan. Ya, Edgar sudah pulang. Ia kembali ke rumah. Tapi ia tidak berharap terlalu banyak. Seperti katanya tadi, waktu berlalu, semua hal sudah berubah.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Arikara's Story : Love Has Its Own Time
Teen FictionKayaknya salah aja kalo gue berani mencintai di umur gue yang baru segini. Karena menurut gue, cinta itu sesuatu yang bertanggung jawab, yang dewasa, yang belum pantes gue rasain. Ya, ibaratnya kayak anak umur setahun di kasih sambel terasi. Belom w...