#7 Kikuk

38 4 0
                                    


"Kalo menurut gue tampangnya nggak preman-preman banget kok. Ganteng. Dan humoris."

"Hah? Humoris? Lo liat dari sisi sebelah mana? Kalo sepenglihatan gue, dia itu orang yang seenaknya dan nggak tau tata krama. Mungkin apa yang Angin Ribut bilang semuanya bener."

"Enggak. Pokoknya menurut gue, gosip si Angin Ribut itu nggak berdasar. Dia pasti orang baik. Cuma penampilannya aja yang urakan."

"Terus bekas luka di mukanya? Itu nggak bisa diabaikan begitu aja. Pasti itu bekas dia berantem sama geng preman lain."

"Nggak harus! Bisa aja dia jatoh dari sepeda terus mukanya kegores dinamo atau injekan sepeda."

"Hahahaha! Jatoh dari sepeda! Teori macam apa itu?"

Eugene hanya bisa mendesah malas menyaksikan perdebatan kedua sahabatnya. Mereka sudah melupakan soto ayam yang sekarang nangkring nggak berguna di meja kantin, dan malah asyik berdebat mengenai anak baru yang menghebohkan itu. Tentu saja, Kara dengan prasangka negatifnya nggak akan pernah sepakat dengan Adeeva yang selalu saja menemukan hal positif bahkan dari seorang buronan sekali pun.

"Hai! Lagi ngobrolin apa?"

Kara--begitu didengarnya suara itu, bahkan sebelum menoleh melihat pemiliknya--langsung membeku kaku dan menundukkan kepala. Kalau saja kakinya nggak ditendang Eugene di bawah meja, Kara akan terus duduk dengan posisi seperti itu. Kecanggungan langsung menguasai atmosfir di meja itu.

"Hai, Fra. Tau nih, si bocah berdua ini lagi pada heboh ngomongin anak baru di kelas mereka. Lo pasti udah denger kan?" Eugene yang menjawab karena tampaknya Kara tidak akan buka mulut, dan Adeeva terlalu sibuk mengunyah soto yang sedari tadi belum disentuhnya.

"Oh, anak baru yang itu. Iya gue udah denger."

Lalu diam lagi.

"Mmm, gue boleh gabung nggak? Gue duduk sini ya, Ra?" Efra menunjuk kursi kosong di sebelah Kara.

"Hahaha. Hahaha. Duduk aja, Fra. Emangnya kenapa? Ya kan? Hahaha. Duduk, duduk," kata-kata berhamburan keluar dari mulut Kara. Tanpa Eugene yang melotot memperingatkan di depannya, Kara juga tau kalau tingkahnya konyol sekali. Dengan ekor matanya, dilihatnya Efra menahan tawa. Duuuh, Kara!

"Ra, lo beberapa minggu ke depan ada rencana lain nggak? Maksud gue, selain ngeband, lo mau ada sibuk-sibuk apa di ekskul lain?" tanya Efra serius.

"Oh? Eh, enggak-enggak. Gue nggak ada kegiatan apa-apa kok. Nggak sibuk. Kenapa?"

"Gue udah ngomong sama Rey dan Andrew, mereka udah setuju. Tinggal lo yang belom gue tanyain. Gue pengen band kita ikutan lomba."

"Lomba?"

"Iya. Yang ngadain Stasiun TV swasta."

"Stasiun TV swasta?"

"Yup. Masih lama sih, dua bulanan lagi. Tapi salah satu persyaratannya kita harus nyanyiin lagu kita sendiri. Dan gue mau minta tolong lo tulisin liriknya."

"Gue?!"

Efra tersenyum sambil menyerahkan MP4 player ke tangan Kara. "Ini lagu gue ada di sini. Lo dengerin aja dulu. Bikinin liriknya ya Ra."

Dengan wajah blank Kara mengambil MP4 player itu dari tangan Efra. Dia? Bikin lirik? Tentang apaan? Tentang kasih tak sampai? Tentang cerita tragis mereka berdua? Yang bener aja, Efra!

"Lomba ini penting banget buat gue," didengarnya Efra memberitahu Eugene dan Adeeva. "Buat referensi biar gue diterima di Jurusan Musik pas kuliah nanti. Jadi gue berharap banget bisa menang."

"Oh, lo mau ngambil jurusan musik. Bagus, bagus," komentar Eugene. "Cocok banget buat lo."

"So, bisa nggak liriknya kelar dalam dua minggu Ra?"

Arikara's Story : Love Has Its Own TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang