#6 Anak Baru

28 4 0
                                    

"Lo yakin, Ra?"

Kara menengadah menatap Eugene, menghentikan kegiatannya memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.

"Untuk yang kesekian kalinya, Eugene, iya, gue yakin," sahut Kara bosan. Eugene sudah menanyakan pertanyaan yang sama sejak semalam sekitar... mungkin ratusan kali.

"Lo yakin bakal tahan?"

Kali ini Kara menghela napas dan menghembuskannya keras-keras. "Park Yoo Jin, Nae saranghaneun cingu (teman gue tercinta), gue ngalamin ginian bukan baru sekali dua kali. Dan selama ini, apa pernah lo liat gue nangis merana, kabur dari sekolah, atau melakukan hal bodoh lainnya karena nggak tahan? Nggak kan. Geokjong hajima, Yoo Jin-ah. Nan halsuisseo (Gue bisa kok ngatasinnya)."

"Tapi ini beda. Lo lagi nggak sehat," debat Eugene sama sekali nggak berniat begitu saja menerima perkataan Kara. Tiba-tiba, dia berdiri dan menarik paksa Kara ke depan cermin. "Igeo bwa (Nih lihat). Muka lo pucet, lesu, nggak berbinar. Gue tau lo udah biasa ngadepin situasi kayak gini. Gue juga percaya. Tapi nggak hari ini. Belom lagi ditambah fans club Rangga yang sewaktu-waktu bisa ngelakuin hal-hal nggak terduga. Kalo lo pingsan lagi gimana?"

Mau nggak mau Kara tersentuh juga melihat begitu perhatian dan khawatirnya Eugene akan keadaannya.

Memang, biasanya kalau Kara ketahuan abis ditembak cowok dan nolak, sekolahan udah kayak neraka. Untung saja sih belum sampai pada tahap bully-membully. Kalau pun sampai ia dibully, Kara sudah memikirkan bagaimana akan bersikap.

Yang terjadi biasanya adalah ratusan mata yang memandanginya aneh--Kara yakin sekali spekulasi tentang dia penyuka sesama jenis langsung berubah jadi penghakiman. Biasanya dalam situasi seperti itu, Kara langsung iba sama orang-orang yang punya jalan hidup 'beda' itu. Bukan karena Kara setuju dan mendukung, tapi, mereka kan manusia juga. Pasti sedih dan tertekan dipandangi aneh setiap saat. Kara tahu jelas rasanya. Belum lagi disindir-sindir di radio sekolah, kalau penyiarnya salah satu dari gadis-gadis yang sirik padanya karena berharap merekalah yang ditembak pernyataan cinta para cowok dan bukan Kara. Belum lagi gosip-gosip yang merebak santer yang bikin kuping ini panas mendengarnya. Bahkan pernah sekali Kara sampai dipanggil ke ruang BP untuk ditanya-tanyai oleh guru, karena gosip tentang Kara yang punya penyimpangan bahkan sudah sampai ke telinga orang tua murid yang komplain kenapa sekolah membiarkan siswa seperti Kara bersekolah di sini dan memberi pengaruh buruk pada murid-murid lain. Melelahkan memang, dan bikin hati panas. Tapi selama ini Kara bisa mengatasinya dengan baik.

Dan pada akhirnya gosip-gosip seperti ini akan mereda dengan sendirinya. Sampai ketahuan Kara nolak-nolakin cowok lagi, baru santer lagi gosipnya (ini juga yang bikin Kara bingung. Tuh cowok-cowok segitunya udah denger gosip ini itu tentang Kara, kok ya masih mau aja suka sama dia. Aneh bin ajaib). Nah, kemarin itu dia jelas-jelas nolak si Rangga di depan satu sekolahan. Pake acara pingsan, lagi. Pasti kali ini lebih rame dan lebih kreatif lagi orang bikin cerita dan berasumsi. Tanpa perlu Eugene ingatkan, Kara juga udah tahu dan punya prediksi sendiri. Makanya, walaupun lelah mendengar Eugene bolak-balik memastikan apa dia akan baik-baik saja, Kara maklum kalau sahabatnya itu khawatir.

"Mau hari ini atau besok atau lusa, tetep aja bakalan sama. Ngapain nunda-nunda sesuatu yang udah pasti bakalan dihadapin? Udah lo tenang aja. Gue pasti baik-baik aja," kata Kara sungguh-sungguh.

Eugene diam sejenak. Kara tahu dia akhirnya nyerah sama kebulatan tekad Kara.

"Geurae geurom (ya udah kalo gitu)," kata Eugene dengan nada masih nggak rela. "Tapi kalo nanti terjadi apa-apa, lo kasih tau gue ya."

"Araseo (Oke). Ga ja (Yuk jalan)," ajak Kara sambil menggamit lengan Eugene. Kedua gadis itu akhirnya keluar dari kamar mereka. Eugene mengunci pintu dan mengantongi kuncinya.

Arikara's Story : Love Has Its Own TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang