Kara menguap lebar. Iya, nguap. Lebar banget tanpa merasa perlu menutup mulutnya yang menganga terbuka kayak buaya lagi berjemur. Kelihatan banget Kara bangun kepagian dan masih sangat mengantuk. Liat aja langkah kakinya yang terseok-seok itu!
Pemandangan ini begitu lucunya sampai membuat Efra tertawa geli sekaligus miris di saat yang sama. Biasanya dia bakal langsung lari menghampiri Kara asal melihat bayangannya muncul atau mencium aroma parfumnya atau mendengar suaranya. Tapi kali ini dia cuma mengamati dari jauh, karena mungkin Kara akan melemparnya dengan sepatu kalau melihatnya. Ia cuma bisa membuntutinya hati-hati sekedar mencari tahu kemana Kara akan pergi sepagi ini. Ah, Efra berulang kali mengutuk kebodohannya semalam.
***
"Fra, gue perlu ngomong."
Kara ternyata menunggunya di depan ruang Kepala Sekolah. Gadis itu mengabaikan Edgar yang telah lebih dulu keluar dari ruangan.
Efra sedikit merasa menang melihat ekspresi marah dan nggak terima di wajah Edgar.
Kara lalu menariknya menuju bangku taman tempat mereka pernah ngobrol beberapa waktu yang lalu. Dia mengeluarkan peralatan P3K dari pouch yang dibawanya dan mulai mengobati memar-memar di wajah Efra.
"Lo nggak diapa-apain sama Edgar kan, Ra?"
"Nggak," jawab Kara sambil menotol-notolkan cotton bud yang sudah dibubuhi obat ke ujung bibir Efra yang bonyok.
"Tadi gue samperin ke kelas, Adeeva bilang lo nggak masuk. Anak baru itu juga nggak ada. Terus, gue dapet laporan dari anak-anak, katanya lo dikasarin dan dibawa paksa sama dia tadi pagi-pagi. Gue khawatir setengah mati. Jujur Ra, lo bener nggak diapa-apain sama dia? Lo nggak nutup-nutupin kan? Dia nggak ngancem lo biar tutup mulut kan?"
"Liat gue baik-baik deh, ada tanda-tanda gue dikasarin nggak? Gue baik-baik aja, Efra. Lo nggak usah khawatir berlebihan gitu."
Mendengar nada suara Kara yang begitu ringan seolah nggak terjadi apa-apa menyulut emosi Efra. "Berlebihan? Lo... Lo barusan bilang gue berlebihan?"
"Iya, berlebihan. Gue tau di mata semua orang Edgar itu preman kasar yang bandel dan berbahaya. Tapi gue bisa jamin, dia nggak bakalan kasar sama cewek. Edgar bukan orang kayak gitu."
"Wah," Efra memutar matanya nggak percaya. "Gue kira dengan segala prinsip hidup lo yang sempurna tentang relationship yang lo gembar-gemborin selama ini, lo bisa lebih pinter menilai. Gue nggak nyangka lo ternyata shallow, Ra. Nggak ada beda sama cewek-cewek ababil pada umumnya."
Tangan Kara yang memegang kapas sudah setengah jalan menuju pipi Efra, tapi ditariknya kembali. "Sorry, gue kurang paham maksud kata-kata lo. Sedangkal apa gue sampe lo bawa-bawa prinsip gue?"
"Ya dangkal. Toh lo ketipu juga sama muka ganteng, bahkan mengabaikan kenyataan kalo orang itu rusak, mantan narapidana, dan pengacau. Sekarang lo belain dia di depan muka gue yang ancur hasil perbuatannya. Apa itu namanya kalo bukan dangkal?"
Ekspresi di wajah Kara memberitahu Efra kalau dia sudah melewati batas. Efra punya sebersit rasa takut kalau hal ini bakal berakibat fatal buat hubungan mereka, tapi ego dan emosi yang menggelegak bikin dia merasa berhak marah saat ini. Gimana bisa Kara bahkan nggak terlihat peduli tentang betapa khawatirnya dia hari ini?
"Lo tau nggak sih kalo semua yang lo omongin itu kedengeran lebih dangkal? Penilaian lo itu cuma berdasarkan opini publik dan nggak berdasar sama sekali. Ketipu muka ganteng? Hah! Selama ini gue pikir lo kenal gue."
"Nggak berdasar? Lo nggak tahu gimana khawatirnya gue, Ra. Mangkir latihan cuma karena gue takut lo kenapa-kenapa. Lari sana-sini kayak orang kesetanan demi apa? Demi nyariin lo. Sekali lagi gue bilang, gue khawatir lo kenapa-kenapa. Tapi apa yang gue dapet? Kekhawatiran gue ternyata buahnya ini," kata Efra sambil menunjuk wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arikara's Story : Love Has Its Own Time
Teen FictionKayaknya salah aja kalo gue berani mencintai di umur gue yang baru segini. Karena menurut gue, cinta itu sesuatu yang bertanggung jawab, yang dewasa, yang belum pantes gue rasain. Ya, ibaratnya kayak anak umur setahun di kasih sambel terasi. Belom w...