Semilir angin berhembus menggugurkan dedaunan pohon yang mulai menguning, hamparan padang ilalang bergoyang—mengikuti arah angin yang bergerak dengan tenang. Sinar matahari terlihat samar dari balik bukit besar di seberang sana. Semakin lama semakin menurun, menandakan bahwa sebentar lagi tugasnya akan digantikan oleh temaram cahaya bulan.
Aku masih diam, kakiku menjulur bergesekkan dengan rerumputan yang mulai menguning. Mataku terpejam, menikmati hembusan angin yang membelai rambutku dengan lembut. Sesekali aku membuka mataku, menatap pada langit sore yang nampak indah karena sinar matahari yang membias. Dari balik bukit di seberang sana—aku dapat melihat beberapa penyihir pemburu yang terbang menggunakan sapu terbang mereka. Melintas di atas padang ilalang tanpa menyadari eksistensiku di bawah sini.
Entah memang tempat yang kupilih saat ini tak terlihat, atau memang mereka tak akan mengira bahwa ada seorang gadis dengan gaun merah muda yang duduk seorang diri di bawah pohon tua.
Mentari akan tenggelam!
Temaram akan datang!
Hadirkan cahaya bulan!
Di atas padang ilalang!
Pandangan mataku menoleh, menatap penuh harap pada sekumpulan peri kecil yang menghabiskan waktu mereka dengan penuh canda tawa. Mereka bernyanyi tanpa beban, melompat dari satu dahan ke dahan lainnya, dan bila mentari akan terbenam, mereka akan pulang dengan senyum mengembang di wajah mereka.
Aku ingin itu, tapi cukup sudah aku memohon pada Tuhan, aku bersyukur bahwa aku masih bisa hidup sampai detik ini, Tuhan tidak menghukumku atas kesalahan yang dilakukan kedua orang tuaku, hubungan terlarang antara Malaikat dan Iblis, kisah kelam yang mengundang murka semesta.
Karena latar belakang tersebut aku disembunyikan, entah bagaimana caranya, aku dibesarkan di sini, dunia para penyihir dan peri, walau aku tak pernah berteman dengan siapapun. Aku takut bila mereka tahu siapa diriku, dan aku tak diterima lagi di dunia ini.
"Kau belum ingin pulang Appolline?"
Sebuah suara menyadarkanku dari lamunanku, Elise, Ibu asuhku, wanita cantik yang membesarkanku sampai sekarang, walau aku tak tahu siapa sebenarnya Elise, entah ia Malaikat, iblis, atau ras lainnya. Satu hal yang kupahami, aku dan Elise sama-sama tak berasal dari dunia ini.
"Aku masih ingin di sini Elise, kemarilah—duduk di sampingku"
Elise mengangguk kecil, gaun kelabu yang ia kenakan bergoyang seiring dengan langkah kakinya yang bergerak mendekat, rambut cokelatnya tersanggul dengan baik, meski beberapa helai rambut masih jatuh terurai secara tidak sengaja.
"Kau tak ingin bermain dengan mereka?"
Matanya melirik pada sekumpulan peri kecil yang kini tertawa dan berkejaran satu sama lain, peri – peri itu tampak ceria, sayap kecil mereka bergerak seiring dengan kaki mereka yang berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Tentu aku ingin bermain bersama mereka, aku selalu ingin memiliki teman.
"Cobalah untuk berbicara dengan mereka, peri kecil itu baik, mereka tak sedingin para pemburu," ujarnya dengan sudut bibir yang terangkat keatas. "Selama kau bersikap ramah, mereka akan melakukan hal yang sama terhadapmu"
Aku tersenyum ketir lalu menunduk, menatap ujung kakiku yang terbaring di atas rerumputan yang mulai menguning.
"Aku ingin. Aku hanya tak mengerti bagaimana aku harus memulainya. Aku tak baik dalam memulai pertemanan, lagi pula mereka semua sudah saling mengenal sejak lama, kurasa aku akan bertindak bodoh nanti"
"Kau hanya berasumsi, kau bahkan belum pernah mencobanya sekalipun," ujarnya.
"Aku—" Aku menggantung kata-kataku, "Aku tak tahu, aku berbeda, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SECRET DARKNESS I #History Of Sorrow
FantasyAppolline, harus diasingkan dari dunia iblis dan malaikat ketika tuhan menghukum kedua orang tuanya. Menyusup dan hidup memisahkan diri di dunia peri dan penyihir. Tanpa satupun teman, hanya dengan seorang ibu asuh bernama Elise. Namun semua beruba...