Part 29 : Kabut dan Ilusi

1K 104 17
                                    

Meninggalkan rumah peri untuk melanjutkan perjalanan bukanlah hal yang mudah, beberapa kali-- aku, selene, dan juga Lorry harus bersikap lebih sabar dan manis ketika para peri itu merajuk agar kami tetap tinggal. Terutama Abelia, yang berceloteh paling panjang saat ia menyadari bahwa Julian akan pergi bersama kami meninggalkan rumah peri. Kurasa, peri kecil itu sedang menangis tersedu - sedu saat ini, aku masih ingat matanya yang berkaca kaca saat kami melangkah keluar dari Rumah peri.

Dan disinilah aku, Lorry, Selene dan Julian berada. Melangkahkan kaki kami dalam hutan luas dengan suhu udara yang terasa menusuk kedalam pernafasan. Aku tak berbohong atau mencoba bereaksi berlebihan, namun dadaku kadang terasa sakit karena suhu udara yang cukup dingin. Ditambah dengan sinar matahari yang benar benar tak bisa masuk menerobos pepohonan, kurasa akan sulit untuk membedakan mana siang hari dan mana sore hari di tempat ini.

Hutan ini lembab. Walau sinar matahari sulit untuk masuk karena rimbunnya daun pepohononan, namun rintik gerimis hujan masih dapat kurasakan ketika gerimis hujan sesekali datang dan mengguyur. Bukan hujan deras, hanya gerimis kecil yang datang sangat singkat selama beberapa kali-- mungkin karena hal tersebut, udara di hutan terasa dingin saat ini.

Tak banyak yang berbicara dalam perjalanan kali ini, entah karena mereka lebih memilih untuk menyimpan tenaga mereka, atau mereka merasakan hal yang sama sepertiku. Aku merasa aku akan sulit bernafas bila aku terlalu banyak berbicara, itu sebabnya aku lebih memilih untuk diam. Setidaknya nafasku tak akan terbuang sia-sia hanya karena terlalu banyak berbicara.

"Lorry"

Aku mendengar Selene yang berucap di depanku, nada suaranya lebih pelan-- terdengar sedikit lirih seperti orang yang terdengar sangat lelah. Gadis ini berhenti melangkah. Bahunya naik turun dengan tempo yang teratur. Aku tak bisa melihat raut wajahnya sekarang, mengingat posisiku kini yang berada tepat di belakang tubuhnya.

"Oksigen di hutan ini semakin menipis"

Aku sedikit menggeser tubuhku, mencoba melihat reaksi Lorry. Ternyata, bukan hanya aku yang merasakan hal yang sama, Selene juga merasakan hal tersebut.

"Kita duduk terlebih dahulu"

Aku mengangguk, kemudian menepi dan bersandar pada sebuah batang pohon yang memiliki ukuran yang jauh lebih besar dari tubuhku. Aku meletakkan sejenak busur panah dan anak pana yang kubawa, menempatkannya tepat disampingku. Selene dan Lorry duduk tepat di hadapanku, mereka tidak bersandar-- hanya duduk diam dengan mengatur nafas mereka sebaik mungkin.

Hening melanda beberapa saat, masing-masing dari kami lebih memilih untuk berdiam tanpa membuka pembicaraan. Aku mengusap keringat yang mengalir di dahiku, hutan ini dingin-- namun karena kami tak berhenti bergerak selama beberapa jam tadi, tubuhku penuh dengan keringat. Aku tak tahu berapa lama lagi kami akan sampai di dunia arwah. Sejauh ini, tanda-tanda bahwa kami semakin dekat dengan dunia arwah belum terlihat.

"Di dalam saku jubah yang kita kenakan, terdapat ramuan Olyum, botol yang paling kecil-- dengan cairan berwarna abu abu" Lorry memecah keheningan dengan merogoh saku jubahnya, mengeluarkan sebotol ramuan dengan warna abu-abu yang terlihat pekat.

Aku mulai merogoh saku jubahku, mencari ramuan Olyum yang ia tunjukkan pada kami. Bila boleh jujur, aku sama sekali tidak hafal nama-nama ramuan yang dibuat oleh para penyihir. Aku hanya mengetahui sedikit, itupun hanya melihat warna dan ukuran botolnya. Aku tak tahu nama ramuan yang kugunakan.

"Minumlah"

"Cairan ini untuk apa? Aku baru melihatnya" Selene berucap dengan menatap lekat botol Olyum di genggaman tangannya. Kufikir, mereka mengetahui tentang ramuan ini- mengingat semua penyihir memiliki kemampuan untuk meracik sebuah minuman.

SECRET DARKNESS I #History Of SorrowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang