"Aku harap kau tak mengingkari janjimu"
"Tidak akan, kita berteman," ujarnya dengan tersenyum lebar.
Kutatap netra birunya yang memancarkan ketulusan, ia masih diam dengan pandangan berbinarnya padaku. Pandangan matanya menuntut, seolah menunggu sepatah kata untuk keluar dari bibir mungilku. Apa yang akan membuat kami tahu bahwa kami berteman? Apa sebuah pelukan dan kecupan seperti yang biasanya Elise lakukan padaku? Aku tidak mengerti, yang jelas situasi ini membuatku kurang nyaman.
Situasi masih hening. Mataku melirik gerak geriknya yang semakin gusar, ia mengacak acak rambutnya dan menggigit bibirnya dalam waktu yang bersamaan. Aku tak tahu apa yang ingin ia ucapkan, aku rasa ada suatu hal yang mengganjal fikirannya saat ini. Hal ini membuatku sedikit bingung, apa benar ia penyihir dari kalangan Penyihir pemburu? Sikapnya benar benar tidak dewasa. Bahkan aura dominannya belum keluar. Jiwanya masih polos.
"Aku Julian, kita berteman, kan?"
Ia berucap dengan sebelah tangan yang terangkat, tanganku terulur cepat. Menyambut uluran tangannya yang seakan meminta sebuah balasan. Ia tersenyum, dengan senyum yang seakan menular padaku.
Julian, nama teman pertamaku.
Aku tak dapat menahan diriku untuk tersenyum.
"Kemari Appolline!" Ia menarik tubuhku untuk merapat dibalik batang pohon besar di belakang kami sekarang, Julian menarik tubuhku untuk menunduk, aku tak tahu apa yang terjadi, namun aku dapat mendengar derap langkah kaki yang mendekat kearah kami. Terdengar seperti beberapa orang yang berlari dengan cepat.
"Ada apa?" ujarku dengan menatap wajahnya.
"Para penjaga mencariku," balasnya dengan berbisik kecil. Aku dapat mendengar langkah kaki yang semakin dekat.
"Ia tak ada di sini! Apa mungkin ia bermain hingga kebalik bukit sana?"
Mataku menyipit menatap dua orang penyihir pemburu yang berjalan gusar dari balik semak belukar, aku masih menunduk, mengikuti apa yang Julian lakukan. Mereka jelas prajurit kerajaan, sebelah tangannya menggenggam sebilah pedang yang panjang.
"Pangeran tidak akan pergi sejauh itu" Seorang pemburu dengan rambut yang sedikit ikal menjawab dengan helaan nafas yang keluar dari bibirnya, "Ia belum memahami juga, sebentar lagi umurnya 18 tahun, seharusnya ia tidak kabur dan bermain sesuka hatinya"
Firasatku benar. Julian belum berumur delapan belas tahun. Ia belum melakukan pembentukkan karakter seperti penyihir pemburu lainnya. Hal ini cukup menjelaskan sikap dan perilakunya yang terkesan masih kekanak- kanakan.
"Lebih baik kita mencari kembali kedalam pemukiman, bocah itu tak mungkin ada di sini"
Mereka berbalik, berlari pergi dan menjauh dari tempat ini dengan cepat. Sedangkan aku masih terdiam ditempatku, menunggu waktu yang aman untuk keluar dari tempat persembunyian kami sekarang.
"Mereka sudah pergi jauh, kan?" Julian mendengus dengan beranjak keluar dari tempatnya.
"Mengapa kau bersembunyi dari mereka? Apa dosa yang kau lakukan?"
Julian beralih menatapku, netranya membulat dengan sempurna.
"Mengapa kau berkata seperti itu Appolline? aku tak melakukan apapun" ia merenggut kesal, lalu melompat dengan cekatan keatas sebuah pohon yang sejak tadi kujadikan sebuah sandaran. "Aku bosan di istana, lagi pula pelayan itu bodoh, dan aku masih ingin bersamamu"
Aku menatap netra birunya tanpa ia sadari, lelaki ini sedang melamun. Mungkin ini hal yang mengagumkan melihat seorang penyihir pemburu melamun dengan fikiran yang kosong. Wajahnya polos. Dengan kaki yang tak henti hentinya bergoyang dari atas sana. Sikapnya belum dewasa, ia hanya melakukan apa yang tersemat difikirannya tanpa memikirkan apa dampak yang akan terjadi nanti.
"Hey, mengapa kau menatapku seperti itu Appolline?"
Ia melompat turun dari pohon, pandangannya berpindah pada baju yang ia kenakan seakan mencari keanehan dari dirinya, lalu kembali beralih menatapku. Menuntut sebuah penjelasan atas kebingungannya saat ini.
"Apa aku aneh?" Ujarnya.
"Tidak, hanya saja ... maksudku, hari sudah mulai gelap. Aku akan pulang, ibuku akan mencariku nanti"
Ia menatapku dengan malas, lidahnya berdecak dan bola matanya berputar. Ya Tuhan, aku tak tahu Ratu Slovia yang kejam memilik putra sepertinya. Apa bocah ini benar-benar seorang putra mahkota?
"Tak sopan memutar matamu ketika berbicara dengan seseorang," ujarku
"Maksudmu seperti ini?"
"Aduh!"
Aku memukul lengan kirinya gemas saat ia kembali memutar bola matanya di hadapanku, aku bersumpah aku benar benar ingin melihat raut wajah Ratu Slovia saat berhadapan dengan Julian. Berhadapan dengan satu - satunya makhluk yang mungkin berani melawan perkataannya.
"Kau benar-benar tidak bisa di beritahu," ucapku kesal.
"Oke, oke. Aku tidak akan seperti itu"
Ia mendesah dengan kepala yang mendongak keatas, ekspressi nya menunjukan bahwa ia benar- benar memohon walau dengan keadaan yang malas malasan. Dasar.
"Langit semakin gelap, aku ingin pulang sekarang," ujarku dengan memandang sinar matahari yang semakin meredup.
Ia menaikkan kedua alisnya ketika mendengar penuturanku kemudian berlari dengan tangan yang melambai padaku.
"Kalau begitu sampai jumpa!"
Ia berlari dengan cepat, meninggalkanku ditempat ini seorang diri, tubuhnya kembali menghilang di balik dedaunan yang rimbun. Haruskah aku mengingat bahwa aku yang berpamitan terlebih dahulu untuk pulang?
Tapi kini ia justru kabur terlebih dahulu, dasar menyebalkan.
Aku mengalihkan pandanganku pada hal di sekitarku. Matahari sudah mulai terbenam, tampaknya aku membuang banyak waktuku di tempat ini. Aku mendesah lalu melangkahkan kakiku menuju rumahku dan Elise, Pikiranku melayang seiring dengan langkah kakiku yang berjalan dengan santainya. Sudut bibirku tertarik, menyunggingkan sebuah senyuman yang tak dapat lagi kutahan. Senyuman yang terbentuk tanpa sebuah paksaan.
Aku mempunyai teman ...
Aku punya teman ...
Aku punya teman ...
Aku punya teman ...
Apa hal yang lebih baik dari ini?
~*~
"Mengapa kau pulang selama ini Appolline?"
Pertanyaan itu terdengar bersaamaan dengan kakiku yang melangkah masuk, Aku menatap Elise, pandangan wajahnya teduh, tersirat kekhawatiran di balik sorot matanya. Aku tak pernah sampai di rumah selama ini sebelumnya. Namun sekarang, aku sampai saat sinar matahari sudah tak terlihat.
"Apa kau baik-baik saja?" Elise bertanya dengan membawa dua mangkuk sup hangat di dalam genggaman tangannya, meletakkan sup tersebut di atas meja makan.
"Aku mempunyai teman, aku sudah berteman sekarang," ujarku tersenyum.
Ia mendongak, menatapku dengan pandangan berbinar. Segurat senyum tampak diwajahnya yang cantik, walau hal itu membuat beberapa kerutan muncul disudut matanya.
"Duduklah, aku ingin mendengar ceritamu"
》》》》 To be Continue 《《《《
KAMU SEDANG MEMBACA
SECRET DARKNESS I #History Of Sorrow
FantasyAppolline, harus diasingkan dari dunia iblis dan malaikat ketika tuhan menghukum kedua orang tuanya. Menyusup dan hidup memisahkan diri di dunia peri dan penyihir. Tanpa satupun teman, hanya dengan seorang ibu asuh bernama Elise. Namun semua beruba...