Bagan I

68 3 2
                                    

Perkenalan tak harus dengan uluran tangan di bawah dada. Sebuah pertemuan tak perlu berawal dari kata, "Hello,". Tak harus dari acara minum teh, atau pesta kebun, atau malah dari pertemuan di pelataran hijau tempat diadakannya dansa musim semi.

Cerita ini kusuguhkan untukmu, Matthew. Pacar pertamaku sekaligus pangeran hidupku.

Labirin ini gelap saat aku menginjakkan kaki beroleskan permata di lantai besar penuh corak dan ukiran lembut. Aku selalu berpikir mengapa Ayah membuat rumah sebesar ini dan setiap sudutnya diukir dengan ukiran-ukiran lembut.

Aku masih tak memahami pola jalan pikiran ayah. Ini sungguh berbeda dari kekehidupan kami sebelumnya.

Dulu rumah kami hanya sebesar 3x4 km. Dulu lantai dasar rumah kami hanya beralaskan pasir diselimuti karpet warna abu-abu. Bukan lantai marmer dingin dan menciptakan dentuman hebat seperti ini.

Dulu Ayah hanya pemahat kayu jati dengan lap keringat kecoklatan di lehernya. Bukan mengenakan baju berlapis-lapis sehingga ia tampak seperti babi hutan gemuk dengan mahkota dan jubah besar menjuntai puluhan sentimeter di lantai. Dulu Ibu hanya pemerah susu dengan tampilan sederhananya. Bukan mengenakan gaun panjang dihujani emas atau perak di bagian rok tutunya. Sehingga ia tampak seperti boneka bodoh ditambah lagi dengan topi di kepalanya yang besar dan begitu canggung. Dan dulu aku tidak seperti ini. Memakai gaun-gaun penuh bulu. Polesan make-up di wajah. Mengenakan sepatu high-heels 7 sentimeter sehingga tumitku terasa sakit bahkan terkadang bengkak. Dulu aku tak memiliki kuku gemilau dan terwat, wajah tanpa noda, dan rambut jatuh gemerlap hitam pekat. Harusnya aku masih sama ketika aku jadi gadis desa. Saat aku masih bergumul dengan lumpur. Mempunyai rambut pirang karena matahari, kuku penuh tanah dan cacing hitam, wajah kusam, dan hanya mengenakan pakaian tipis seadanya.

Tapi ini kehidupanku di istana megah yang berdiri kokoh dan tahan serangan. Tapi di sinilah aku Tuan Puteri yang siap menjadi ratu di kerajaan besarku. Akulah yang akan membuatmu tunduk dan patuh serta mengatakan hal yang sama kemudian merunduk hormat ketika aku melewati garis merahku. Aku bukan seorang gadis desa menyedihkan seperti itu. Aku gadis kerajaan anggun. Tidak boleh bersikap konyol dan harus dewasa. Tak boleh merasa iri. Selalu merasa puas.

Itu adalah bagian dari skenario ceritaku. Dimana sebenarnya aku mendambakan kebebasan. Keluar dari belenggu kerajaan. Lolos dari pengawasan pengawal dan mengejar kupu-kupu seperti kau, Rakyatku.

Kebahagiaan tak diukur dari pendapatannya. Tak dilihat dari nama belakangnya. Seorang Pangeran atau Tuan Puteri, atau malah kaum jelata di luar gerbang istana. Seorang prajurit atau pengawal. Baginda Raja atau Baginda Ratu. Pedagang buah atau pedagang sayur. Pemahat kayu atau pemahat pedang. Seorang pemerah susu atau pembuat mentega. Pengasuh atau penasihat.

Kau tahu? Seberapa muaknya aku mempelajari perbedaan? Menurutku apa bedanya? Kenapa ada garis kebangsawanan dan garis rakyat jelata kalau kini semua bertaraf sama kecuali pemimpin kerajaan?

Aku mengerti perbedaan hanya berlaku karena ada pewaris tahta, berketurunan darah biru, dan mempunyai standar kebangsawanan saat lahir di dunia. Hanya karena buah keintiman dari Raja dan Ratu.

Hidup ini aneh. Mengapa aku di penjara di sini? Dibelenggu dengan tembok-tembok tinggi menjulang dan tak pernah diperijinkan melihat kegaduhan di luar gerbang istana. Diawasi oleh mata-mata jeli seakan aku ini penjahat terliar di muka bumi ini. Jarang diajak berkomunikasi karena satu alasan bodoh. Tak masuk akal. Membuat kupu-kupu berterbangan di dalam perutku, "Kau adalah Tuan Puteri,", hal gila macam apa ini? Mereka terlalu konyol. Memang apa bedanya aku dengan wanita lain? Apa ibuku juga merasa kesepian sepertiku?

Happily (N)Ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang