Bagan VI

7 2 0
                                        

Bintang belum saja jatuh malam ini. Rembulanpun enggan menemuiku di atas balkon kamarku. Setidaknya ada semburat cahaya di dalam pekatnya lubuk hati. Membiaskan cahaya seperti embun dikala fajar, membuat garis pelangi dikilauan langit biru. Atau setidaknya, ada sebuah bintang menyebrangi bumi. Membuat garis sama untuk menciptakan sebuah binar di mataku. Membuat sebuah harapan.

Mataku belum saja lelah menatap langit malam kelabu. Jariku belum saja berhenti menari di atas meja kayu tuaku. Bibirku masih saja mengucapkan harapan-harapan kecil yang terasa mustahil. Otakku masih saja berpikir, tentang apa yang membuatku mendesis-desis seperti ini.

"Aku merindukanmu,"

Kataku pelan. Air mataku hampir saja jatuh menuruni pipiku, membuat sungai kecil di sana, tapi cepat saja aku mengusapnya. Menjadi seorang puteri itu tidak boleh terlalu memperlihatkan perasaannya. Tapi aku merasa itu sama saja membohongi perasaanku sendiri. Membuat goresan itu semakin dalam dan perih. Karena aku justru memenatnya, bukan membiarkannya mengering. Aku membenci ini. Aku belum pernah merasakan ini. Merasa seperti sedang merindu, tapi aku tak tahu kapan aku mulai merasakannya. Hanya penat. Hanya sesak. Membuat urat kepalaku mengejang. Ingin berteriak, tapi terasa mustahil. Ingin menangis, tapi mataku sudah terlalu lelah. Aku sudah tak bisa lagi mengendalikan emosiku sendiri. Ini membuatku frustasi.

"Kau belum tidur?"

Tanya Ny. Phe lembut. Aku hanya menggeleng saja. Kemudian ia pergi.

Aku menundukkan wajahku. Angin malam seperti sedang berusaha membuka piyamaku. Seperti ada jari-jari mungil berusaha menyentuh permukaan kulitku. Membuat rambut-rambut di sana menegang. Aku merapatkan piyamaku. Berusaha menutupi tubuhku yang telanjang.

Pangeran Aderian seketika di belakangku. Melingkarkan tangannya di pinggangku. Memelukku dengan hangat. Melindungiku dari terpaan jari-jari nakal. Ia membisikkan kata untuk menenangkanku.

"Tidurlah, tenanglah, ada apa?"

Katanya manis. Aku bisa merasakan hembusan nafasnya di leherku. Aku berdecak. Lidahku terasa kelu untuk mengucapkan alasan yang sudah tiga bulan ini mengendap di kepalaku, tapi aku hanya diam. Mungkin akan terus diam hingga pagi menyapa. Hingga kuku-kukuku mengeras karena dinginnya malam.

Pangeran Aderian membalikkan tubuhku. Ia menatap mata cokelatku dengan damai. Ia memojokkanku di tiang penyangga. Nafasnya membual padahal ini belum masuk ke musim dingin. Ia menatapku semakin lekat. Menjelujuri wajahku. Membelai pipiku yang semakin menirus. Ibu jarinya mengusap kelopak mataku yang sudah menghitam. Kemudian jarinya menuruni bibirku yang mengering. Ia menatapku pilu. Jarinya menyibakkan poniku yang sudah memanjang tak beraturan.

"Bicaralah padaku,"

Katanya simpati. Kristal es di pelupuk mataku mulai mencair. Menitikkan cairan hangat di sekitar kelopak mataku. Bibirku bergetar. Gigiku mulai menggigit bibir bawahku agar aku tak berteriak, merusak kesunyian malam yang telah dibuat. Badanku mulai bergetar. Urat-uratku berkontraksi. Tanganku mencengkram pakaian tidur Pangeran Aderian. Aku memalingkan arah pandanganku dari mata teduhnya. Aku menutup mataku, membiarkan kristal-kristal es di gua mataku mengalir begitu saja. Membuat aliran-aliran tak beraturan di wajah lelahku. Aku memeluknya getar. Isakanku mulai mengeras. Aku menangis di pelukannya lagi, orang yang ingin kusalahkan tapi aku tak memiliki bukti kuat untuk membuktikan kesalahannya. Ingin kupukul keras-keras dada bidangnya, tapi aku tak mampu. Tubuhku sudah jarang mendapatkan asupan gizi yang cukup. Kulitku sudah mengering. Aku tak akan sanggup memukulnya.

"Tak apa,"

Kata Pangeran Aderian menenangkanku. Ia mendekapku semakin erat, membuatku kesulitan bernafas, tapi kubiarkan. Ia merengkuh punggung mungilku. Membenamkan wajahku ke dada bidangnya yang dibuka lebar-lebar.

Happily (N)Ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang