Bagan V

13 2 0
                                    

Aku membenamkan wajahku ke bantal pink tuaku. Aku mendesah kasar. Mengapa aku begitu bodoh? Sudah sedari tadi aku berusaha memahami pernyataan di depanku tapi tak kunjung juga aku mampu mengingat rumus apa yang harus kutuangkan di sini. Aku memelototinya lagi, berharap ada gambaran rumus di kertas rangkap itu, tapi hasilnya nihil. Aku memejamkan mataku. Otakku benar-benar sudah lelah.

Ny. Smith memandangiku dari kacamata sepianya. Ia menurunkan kertas-kertas yang menutupi wajahnya.

"Mungkin kau ingin kubantu, Tuan Puteri?"

Katanya lembut. Ia meletakkan kertas-kertas itu di atas meja tata riasku kemudian menghampiriku yang tertelungkup di atas karpet beruangku.

"Tidak! Tidak! Aku mampu mengerjakannya sendiri,"

Teriakku ke Ny. Smith. Ia menggelengkan kepalanya pelan. Ia tetap duduk di depanku. Memandangi kertas putih di depanku yang masih saja kosong.

"Kau mirip sekali dengan ayahmu,"

Katanya pelan. Aku memalingkan wajahku dari tumpukan kertas di bawahku, lalu memandangi wajah Ny. Smith.

"Keras kepala,"

Sambungnya sambil melirikku. Mataku melotot, bibirku mungkin sudah maju puluhan sentimeter. "Terserah kau saja, aku tak akan perduli,", kataku dalam hati jengkel.

Ny. Smith terus menatapku. Aku menatap Ny. Smith malas. Aku beranjak dari posisiku. Mengubah posisiku yang semula tengkurap menjadi duduk.

"Kita sudahi saja semua ini,"

Kataku dengan nada rendah. Kututup buku yang tergeletak di samping kumpulan kertas bodoh itu dengan kasar. Ny. Smith memandangiku kemudian berniat menarik soalnya yang hampir membuatku sakit kepala, tapi dengan cepat kulayangkan tanganku ke arah kertas itu, membuat suara dan gesekan keras. Ia mengambil tangannya kembali, kemudian pergi dari posisinya menuju meja tata riasku untuk memgambil kertas-kertas lainya. Ia mengalihkan pandangannya ke arahku.

"Baiklah, Tuan Puteri. Saya pergi dahulu,"

Katanya sambil berlalu.

Kuacak tempat itu dengan marah. Aku sedang tak ingin berpikir dan Ny. Smith justru memberiku soal-soal merepotkan seperti ini. Membuatku ingin muntah.

Tn. Robbinson menghampiriku kemudian berjongkok di sebelahku. Ia tersenyum kemudian mulai angkat bicara.

"Apa ia menyakitimu?"

Goda Tn. Robbinson. Sungguh aku tak ingin ada permainan kali ini. Aku hanya sedang tertekan. Entah kenapa. Emosiku seperti sedang berkecamuk, tak dapat kukendalikan. Aku hanya ingin marah saja. Semua di hadapanku terlihat bodoh dan menjengkelkan. Membuat serangkaian umpatan di dalam otakku.

"Tinggalkan aku, aku sedang tak ingin diganggu,"

Kataku malas. Kulemparkan tubuhku ke atas ranjang dengan desahan sebal. Tn. Robbinson memandangiku sejenak kemudian mulai meninggalkanku, sendirian.

Aku teringat Aderian saat aku sedang memejamkan mataku, kemudian aku mulai mengingat-ingat kembali memori bersama Aderian. Kubuka kelopak mataku dan mendapati langit-langit kamarku dengan hiasan tirai panjangnya. Aku memiringkan badanku ke kanan, memandangi lampu tidur di sebelahku, kemudian aku menarik laci di perut meja pendek itu. Kuambil sebuah gulungan kertas usang ditali dengan pita warna merah yang berada di sana.

Happily (N)Ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang