4. The Beginning

22.8K 2K 145
                                    

Anthoni mengerjap. Dalam sekali kejap dia menjadi pengangguran. Nasibnya sangat miris. Hanya gara-gara ulah anak SMA yang sumpah sumper ngeselin, Anthoni kehilangan pekerjaannya. Padahal, dia susah payah mencari pekerjaan.

"Tapi, Mas, saya kan nggak berbuat apa-apa?" Anthoni membela diri. Mengikuti Mas Charli yang masuk ke dalam. "Masa saya main dipecat saja sih, Mas?" Anthoni berusaha memperjuangkan pekerjaannya.

Mas Charli bungkam. Masuk ke area kasir. Melayani para pembeli yang mau membayar.

"Ayolah, Mas, jangan pecat saya," pemuda kecil itu belum mau menyerah. Mas Charli tersenyum ke arah pelanggan. Sama sekali tak mengacuhkan Anthoni. "Saya akan lakukan segala cara deh, supaya Mas Charli nggak mecat saya."

Tapi, biar pun Anthoni ngomong sampai mulutnya berbusa, nyatanya, Mas Charli tetap memecat Anthoni. Dengan pesangon sedikit, Anthoni pulang lunglai. Hari ini benar-benar sial. Anak SMA tadi, ya ... semua ini terjadi gara-gara dia. Coba dia nggak ke toko kaset tempat Anthoni kerja, ending hari ini pasti nggak akan semengenaskan seperti ini. Ah ... kampret memang bocah raksasa itu.

Siapa sih namanya? Anaknya siapa? Tengil banget gitu? Dia makannya pake nasi nggak? Pastinya sih nggak. Manusia yang makannya nasi kan kelakuannya baik-baik. Nggak seperti dia. Mungkin makanan tuh anak dupa. Pokoknya semenjak Anthoni dipecat beberapa jam ini, pikiran Anthoni benar-benar nggak waras deh.

"Eh ... Anthoni, kok udah pulang?" itu kan suara....

Anthoni menengadah. Dan menemukan Arial lagi bermain gitar di depan kos ama anak-anak kos lainnya.

Eoh? Anthoni mengedarkan pandangan. Sudah sampai di depan kos? Ah Anthoni sedari tadi ngelamun terus sih. Jadi nggak sadar kan kalau dia udah nyampai kos-kosan.

Anthoni menggaruk kepalanya yang nggak gatal. Ikut nimbrung Arial ama kawan-kawan kosnya yang lain.

"Wajah kamu pucat, Rom. Kamu sakit, ya?" tanya Deden, penghuni kos asli Jepara. Satu kampus juga ama Anthoni. Cuma dia ngambil jurusan komunikasi.

"Aku ... nggak kok," Anthoni bingung mau menjawab. Dia bergerak kikuk. Itu kenapa Arial menatapnya seperti gitu, ya? Mata elangnya yang tajam seolah-olah menusuk-nusuk jantung Anthoni.

"Kok jam segini lo udah pulang, Rom?" Arial mengulangi lagi pertanyaannya. Kedua tangannya memeluk gitar. Menggenjreng sekenanya. "Lo sakit?"

Anthoni meringis. Mau jawab sakit hati gara-gara anak SMA kok ya kebangetan. Dia aja nggak kenal ama bocah kerdil itu. Masa iya dibuat baper ama dia. Tapi ... Anthoni emang baper sih.

"Aku ... eng ... aku dipecat."

Perhatian cowo-cowo di halaman depan tempat kos Anthoni terpusat kepadanya seketika. Anthoni malu. Menunduk. Garuk-garuk tengkuk.

"Dipecat?" itu pertanyaan dari Elang. Pemuda asal Palembang. Dia mengerutkan kening. "Kok bisa?"

"Iya ... tadi bikin kesalahan fatal di toko," Anthoni nyengir. Gigi kelincinya terlihat lucu. Oh, Anthoni benar-benar cowo imut nan menggemaskan. Rambutnya hitam agak panjang. Dan biasa dia kuncir kalau lagi gerah.

"Kesalahan fatal apa?" tanya Firman. Dia anaknya ibu kos. Paling menguntungkan kalau udah tanggal tua. Anthoni bisa hutang mie instan padanya. Juga kopi dan susu instant. Teman penyambung umur begitu Anthoni menyebutnya.

"Tadi ada pengunjung menjatuhkan kaset-kaset DVD. Tapi dia nggak mau bertanggung jawab. Trus ya udah, dipecat deh."

"Apa-apaan tuh?" tanya Arial nggak habis pikir. "Pengunjung yang salah kok lo yang malah dipecat?" suaranya terdengar tak suka.

Teach Me to Love as (Gay)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang