2. Arial

31.8K 2.3K 238
                                    


Namanya Arial. Teman kampus Anthoni. Pemain basket tingkat provinsi. Memiliki tubuh atletis. Otot-otot menggiurkan. Perut kotak-kotak menggoda iman. Rambut berantakan yang selalu mampu meningkatkan libido tiap basah. Serta bibir tebal yang selalu membuat Anthoni bercita-cita menciumnya tiap kali terbuka.

Berita sialnya ... dia absolutly straight.

Berita lebih sialnya ... dia teman satu kamar kos Anthoni.

Berita jauh lebih sialnya ... dia tidur seranjang dengan Anthoni.

Ini serangan. Mengibarkan bendera perang. Laki-laki itu adalah idaman Anthoni. Tiap kali mimpi basah, entah bagaimana caranya Anthoni selalu mendusel ketiak Arial. Arial memang nggak tahu Anthoni gay. Tapi dihidangkan pemandangan Arial yang selalu hanya memakai cangcut tiap kali tidur, siapa juga yang nggak tahu gelagat mencurigakan Anthoni yang selalu terangsang tiap melihat tonjolan itu.

Anthoni mendudukkan tas punggungnya di kursi belajar ketika baru saja sampai di kos. Dua hari lagi Anthoni masuk kuliah. Jadi dia harus balik ke kota tempat kampusnya. Untung setelah acara coming out kemarin, orangtua Anthoni makin care, jadi salah satu beban di pundak Anthoni seperti dihilangkan begitu aja.

"Oi ... kapan nyampai?"

Degub jantung Anthoni berdetak sepuluh kali lipat.

"Naik apa tadi?"

Anthoni belum menguasai gejolak tubuhnya.

"Kenapa nggak telpon? Tahu gitu kan gue susul di terminal tadi?"

Lelaki itu―Arial―baru keluar dari kamar mandi. Bertelanjang dada. Puting cokelatnya sangat menawan. Lekuk tubuhnya terlihat menggiurkan. Dan dia....

Dia....

Hanya memakai handuk untuk menutupi anunya.

Cuma handuk putih kecil di atas lutut.

Jendulan anunya terlihat kentara.

Lalu handuk itu terjatuh.

Anunya terlihat. Gedhe. Berjem―eh berambut. Menggelantung lemas.

Anthoni mimisan. Dia langsung pergi ke kamar mandi. Deg-degan. Ini gawat. Anthoni bisa langsung orgasme hanya melihat Arial telanjang. Ya ampun, anunya tadi. Anunya .... oh ... lupakan. Anthoni melorot celananya. Mengambil sabun. Mengurut lagi.

"Lo kenapa sih?"

Anthoni salah tingkah begitu keluar dari kamar mandi setengah jam kemudian. Basah. Memutuskan untuk mandi setelah coli. Supaya Arial nggak sampai curiga padanya.

"Biasa ... mabuk darat," bilang Anthoni. Mengambil tas di kursi. Mengeluarkan lipatan-lipatan baju yang sudah disiapkan Ibu.

"Lo tadi pulang ama siapa?" Arial mengulangi pertanyaannya. Membuka majalah olahraga.

"Sendiri. Bapak nggak bisa mengantar. Nanti malam ada kondangan."

"Ya elah, kenapa nggak telpon aja sih? Kan, bisa gue jemput ke rumah lo."

"Engng...."

"Kayak ama siapa aja lo."

"Aku takut kamu latihan basket, terus ganggu kamu," Anthoni memasukkan baju-bajunya di almari. Imajinasinya masih berkelana liar setelah melihat anu Arial yang wow tadi. Dia belum berani menatap Arial terang-terangan. "Ini hari Sabtu, kan? Kok kamu nggak latihan basket?" bedak bayi dan minyak telonnya, Anthoni letakkan di atas nakas.

"Lagi free, istri Pak Bujang―pelatih basket Arial―melahirkan," suara lembar majalah yang terbuka, terdengar di telinga Anthoni. Pemuda mungil itu masih gugup.

"Oh... kamu ... kamu...," Anthoni menelan liurnya. "Nggak keluar ama teman klub basketmu?"

"Males. Paling mereka hanya nongkrong-nongkrong nggak jelas di mall. Capek," terdengar lagi suara lembar majalah yang dibuka.

"Tumben-tumbenan," Anthoni menautkan bibir tipisnya. "Biasanya kamu paling suka tiap ke mall. Bisa ngecengin cewek-cewek."

Arial tergelak. Dia menatap punggung sempit Anthoni yang masih berjongkok di depan almari. Sibuk menata barang bawaannya dari kampung. Padahal, dari tempat Arial duduk, tak ada baju satu pun yang masih tersisa di tas Anthoni. Semuanya sudah disimpan rapi di tempatnya.

"Lo ngapain sih berjongkok di situ?"

Anthoni terkejut.

"Gue tahu kok, baju-baju lo udah lo letakkan di tempatnya."

Pemuda berambut halus itu merona.

"Tas lo udah kosong, kan?"

Dia mengangguk gugup. Tangannya bergetar.

"Terus ngapain masih jongkok di situ? Nggak capek apa? Kayak nggak ada kerjaan aja."

Lelaki itu meringis. Berdiri. Terkekeh aneh ke arah Arial. Lalu menggaruk rambutnya.

"Tadi naik bus?" Arial mengulangi pertanyaannya.

Mata tajam Arial menghunus tepat ke jantung Anthoni. Dia tambah salah tingkah. Menghempaskan pantat di kursi belajar. "Iya," jawabnya sebisa mungkin. Penampakan anu Arial benar-benar mengusik Anthoni. Kenapa bisa sebagus itu sih bentuknya? Dan lagi jemb―eh bulunya halus rapi lagi? Itu dismoothing apa? Begitu isi hati Anthoni, nggak habis pikir.

"Terus dari terminal ke sini naik apa?"

Beda banget ama punya aku. Bulu-bulu punya aku juga ah ... mengecewakan.

"Hello ... Anthony, masih ada di sini?"

Anthoni berjengit kaget, membuat punggungnya terantuk meja belajar. Itu ... Arial tiba-tiba aja udah berada di depan Anthoni dengan jarak sangat dekat. Wajahnya yang maskulin terpampang nyata. Hidungnya yang ramping dan tinggi, terlihat di depan mata.

"Eh...," Anthoni salah tingkah. "Anu... aku..." dia menutupi hidung supaya nggak mimisan lagi.

Arial menarik tubuhnya menjauh. Mencium bau badannya. "Gue bau ya?" sampai ketiak yang penuh rambut pun tak luput dari endusan Arial.

"Nggak kok," Anthoni menggeleng berkali-kali, "kamu nggak bau." Dia merona. Malu. Kali ini imajinasinya membayangkan dia lah yang mengendusi ketiak berambut lebat itu dengan hidung kuncupnya.

"Trus kenapa lo nutup hidung lo kalau gue nggak bau?" Arial mengerutkan kening tak suka.

"Aku ... aku ... eng ... pilek," Anthoni nyengir. Mengerjap. Kemudian terkekeh garing. Menampilkan dua gigi kelincinya.

Arial mendekat lagi. Dan Anthoni mati.

Tentu aja bukan mati secara harfiah. Tubuhnya terasa membeku di tempat ketika Arial tiba-tiba melekatkan dahi lebarnya ke dahi Anthoni.

Ah ... bau sabun Arial yang wangi dan segar sangat menenangkan. Apalagi ditambah aroma shampoo menthol. Ingin rasanya Anthoni mendekap Arial. Ya ampun, Arial ini menggiurkan banget sih? Dia nggak tahu apa kalau Anthoni gay? Eh, Arial kan emang nggak tahu.

"Nggak panas pun."

Anthoni melotot. Ini darurat. Arial mendaratkan punggung tangannya di leher Anthoni. Kiri-kanan. Ya Tuhan, ini penderitaan. Anthoni kan jadi nggak tahan. Anthoni buru-buru bangkit. Gugup. Menjauh dari Arial. Memepet almari. Membukanya, mengambil sepotong kemeja flanel. Kemudian berujar;

"Aku kerja dulu, ya, Arial," dikancingkannya kemeja itu cepat-cepat. Lalu, tanpa ber-say sampai jumpa, Anthoni sudah ngibrit dari sana.

.

.

.

.

Hai-hai selamat malam minggu kawan-kawan. Sayah dengan si ganteng ChristianJCB balik lagi. Vote, comments, review, saran, kritik, caci maki, sumpah serapah, kami terima lapang dada.

Salam kami

Malagoar & 

{6h

Teach Me to Love as (Gay)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang