8. a Refusal

19.9K 1.7K 301
                                    

Anthoni lari tunggang langgang melewati halaman luas. Matanya masih berjatuhan air bening. Tangannya membekap mulut sambil mengusapnya kasar berkali-kali. Bagaimana bisa dia sebinal itu? Mengerang hanya karena lehernya dibelai? Sama calon majikannya pula? Oh, ini sungguh sesuatu yang nggak pantas. Nggak sopan. Nggak manusiawi.

Padahal tadi niatan Om Patrick juga baik. Memberikan perhatian penuh pada leher Anthoni yang habis dicekik anak semata wayangnya. Namun, imbal yang Anthoni beri malah sebaliknya. Menikmati sentuhan itu? Seperti menikmati sentuhan dari seorang kekasih? Kurang ajar betul.

Anthoni itu, benar-benar tak patut digaji. Semilyar pula. Lupakan, Om. Cari tutor menjanjikan yang lain. Teruna bertubuh kerdil bagaikan jenglot busung lapar itu tak layak mendapat kebaikan hati Om. Sekarang dia bisa menikmati sentuhan kecil dari Om. Besok-besok? Agak-agaknya, jiwa dan nurani Anthoni butuh dirukiyah sekali-kali. Atau dimandikan bunga sembilan puluh sembilan rupa di rumah Ki Joko Bodo.

Anthoni terus merutuki diri. Menangis sesenggukan mirip anak TK. Padahal dia udah mahasiswa. Berusia kepala dua. Jurusan sastra. Sebentar lagi wisuda. Saat hampir sampai di pagar besi yang letaknya berjauhan dari pintu utama, pundak sempit Anthoni dicengkeram kuat tiba-tiba. Lalu tubuhnya dibalikkan begitu saja. Om Patrick berdiri di sana dengan wajah penuh tanya.

"Kamu kenapa, Thon?"

Thon? Dia dipanggil Thon? Oh... khayalan binal Anthoni melanglang buana. Selama ini belum pernah ada seseorang yang memanggilnya Thon. Paling banter memanggil nama depannya. Ada sih yang agak jahil, seperti Deden kalau tingkah absurdnya kumat, nama keren Anthoni akan berubah Anto. Pelafalannya pakai bahasa Jepara yang medok. Anthoni seolah-olah bermetafora menjadi pemuda sawahan.

Anthoni menggeleng. Kuncup hidungnya memerah. Ingus pun meleleh dari sana.

"Kok, Thoni nangis?"

Ya ampun, kali ini taruna memalukan itu dimahkotai Thoni. Mana pelafalannya pake suara sexy lagi. Ah ... rasanya Anthoni ingin khilaf lagi.

Gelengan kedua Anthoni perlihatkan, "Saya mau pulang, Om," suaranya yang serak saat menangis terdengar menggigil. Tubuhnya berguncang. Mengingat betapa jalangnya dia tadi merintih menikmati sentuhan tangan Om Patrick, tangis Anthoni kembali kejer.

Om Patrick semakin kebingungan. Dia mengelus-elus lengan Anthoni, berusaha menenangkan, namun yang ada, Anthoni yang kembali dibayang-bayangi eranganannya tadi, jadi tambah nangis. Suaranya itu lho ... bikin para pembantu rumah mewah itu berlari ke depan ingin tahu.

Om Patrick kewalahan. Lalu dia melakukan hal yang lebih ekstream. Jauh lebih ekstream. Dia memeluk Anthoni. Sekali lagi biar agak drama bacanya: Om Patrick memeluk Anthoni. Iya! Tubuh mini mirip cebol itu didekap Om Patrick. Tingginya yang hanya sebatas dada lebar Om Patrick, jadi terlihat tenggelam. Ditelan abs-abs menarik hati. Oh, Anthoni kembali horny.

Tangisan Anthoni seketika terhenti. Matanya membulat. Ah ... ini tragedi. Tragedi pelukan siang hari. Mata kelereng hitam itu berada tepat di depan dada Om Patrick. Tepat! Sampai cetakan puting di balik kemejanya Om Patrick pun ikutan tertelan bulat-bulat oleh iris gelap Anthoni.

Anthoni kembali nakal. Khilaf untuk kesekian kali di hari ini menyatroni otak berjamurnya akibat terlalu lama jomblo. Dia dengan sengaja bin sadar bin sehat wal afiat menubrukkan dahinya di puting Om Patrick. Ya ampun, damai ibu pertiwi. Mengeras. Tapi empuk disaat bersamaan. Anthoni menggesek-gesekkan kepalanya. Dan puting itu meraba wajahnya. Innalillah ... sepertinya Anthoni benar-benar minta dicuci pake sitrun otaknya.

"Thoni kenapa nangis?" suara itu sangat lembut. Beda banget sama suara bapak yang gronjal-gronjal. Punya orangtua kayak gini caranya gimana, sih? Anthoni pengen request satu dibawa ke kos.

"Saya mau pulang, Om," Anthoni nggak mau menjawab. Malu, Bung! Masa iya mau menjawab saya horny dekat-dekat Om?

Tapi rupanya jawaban itu benar-benar dengan sialnya keluar dari bibir Anthoni. Dia waras nggak, sih? Saat Om Patrick mendesak meminta jawaban kenapa Anthoni menangis, Anthoni menjatuhkan mercon itu. Secepat itu. Seperti gerakan melesat para serigala di serial Ganteng-Ganteng Sempak yang pernah booming tahun lalu.

"Saya...."

"Ya, kenapa Thoni? Jangan bikin Om khawatir. Tadi kamu sudah dicelakai anak Om. Dan sekarang gara-gara Om kah kamu sampai menangis? Rasa-rasanya Om gagal dalam membangun peringai keluarga Om. Om benar-benar minta maaf. Om janji nggak akan menyakiti kamu lagi. Kalau kamu nggak mau menjadi tutor anak Om, nggak apa-apa. Om nggak maksa. Om nggak ingin kamu tertekan."

Kedua tangan Om Patrick masih membelai punggung kecil Anthoni. Si cebol itu merasa bersalah pada orangtua keren tersebut. Padahal yang salah hanya Theo tadi? Siapa namanya? Theodorant? Iya, Theodhorant buat ketek. Kenapa yang malah meminta maaf Om Patrick yang baru kenal tak lebih dari sejam udah begitu baik padanya?

"Saya...."

"Kamu kenapa, Sayang?"

Kalian dengar tadi? Anthoni dipanggil Sayang? Dengan intonasi sangat menenangkan? Dipanggil sayang? Ya Tuhan, izinkan Anthoni sedikit melayang. Kedua tangan Anthoni dengan sangat berani sekali mengalung pada pinggang Om Patrick. Membiarkan hangat tubuh mereka bersatu. Inikah yang dinamakan cinta pada pandangan pertama?

"Saya homo, Om. Berdekatan dengan cowo itu menyusahkan buat saya. Saya bisa horni sewaktu-waktu. Apalagi saat Om tadi membelai leher saya. Saya tadi merintih Om. Karena saya horni. Sekarang pun tambah horni. Mau onani tapi malu."

Ya ampun, itu mulut apa petasan? Main nyablak sana nyablak sini. Udah kayak nggak ada filter aja, suka sembur semua omongan yang ingin dikeluarkan.

Anthoni mengeratkan pelukannya. Menenggelamkan wajahnya pada dada bidang harum itu. Namun hal sebaliknya Anthoni peroleh dari perilaku Om Patrick. Gerakan tangannya yang mengelus punggung Anthoni terhenti. Tubuhnya menegang. Kaku, serta wajah yang menyiratkan rasa keterkejutan luar biasa, Om Patrick mendorong jauh tubuh Anthoni. Mata cokelat emasnya membulat.

Tangisan Anthoni memang sudah berhenti. Namun sebagai gantinya, sebuah luka secara bertahap merayap dan mengakar di dasar hati. Hal seperti ini kejadian lagi....

"Kamu gay?" Om Patrick belum bisa mengatasi keterkejutannya. Dia menatap Anthoni lekat-lekat. Tak percaya. Iris singa itu seakan-akan menunjukkan sebuah keheranan.

Oh, kembali Anthoni tersakiti.

Sebuah penolakan lagi. Dari cowo entah untuk yang keberapa kali. Ingin rasanya Anthoni mati. Biar nggak keki seperti ini. Anthoni terpejam. De javu karena dulu dia pernah mendapat perlakuan mirip saat ini. Orang yang berbeda. Tapi menggores luka di tempat yang sama. Anthoni tahu apa yang selanjutnya akan terjadi. Dia akan dicampakkan seperti yang sudah-sudah.

Anthoni mengusahakan sebuah senyuman. Senyum sakit hati lebih tepatnya.

"Iya, Om. Saya gay," tersenyum lagi. Penuh luka dan kesedihan. Hatinya seolah berkeping. "Pasti menjijikkan ya, Om, ya." Senyum itu masih belum hilang dari baris bibir tipisnya. "Kalau dipikir-pikir," entah kenapa dada Anthoni terasa sesak. Tak kurang dari sejam dia kenal Om Patrick. Namun sebuah penolakan, sebuah pendiskriminasian terhadap kaum LGBT itu, akan tetap menohok siapa pun dia. Menjadi berbeda itu kadang menyakitkan. "Mending ngentot lawan jenis ya, Om, ya, daripada menjadi homo. Hahaha ... menjijikkan. Sampah. Berpenyakit ... hahaha...."

Anthoni tak tahu, tawa yang dia gelakkan ini, kapan akan sembuh dari akar-akar sakit yang tak terperi.

Wajah sayu Anthoni menatap lesu ke arah Om Patrick.

Dia kemudian berbalik memunggui Om Patrick. Pergi dari sana. Dan tak akan pernah kembali. Mirip lagu-lagu. Memang benar, tapi sakitnya tak ada yang mampu menyentuh.
.
.
.
.
.
.
Selamat malam, saya dan ChristianJCB Datang lagii

Vote, komen, dan kawan2nya ya

Salam kami

Malagoar & ChristianJCB

:) :)

Teach Me to Love as (Gay)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang