11. Big Deal (again)

18.4K 1.7K 286
                                    

Selamat malam, saya ama ChristianJCB yang ganteng datang lagi. Ada yang bosan nggak sih dengan cerita ini? :(

Vote, komen, kritik, sumpah serapah membangun, salam kangen mungkin, ditunggu ya

Oh buat duo emak-emak nyablak, ini untuk kalian :*

Selamat menikmati

Salam dari kami

Malagoar & ChristianJCB

.

.

.

.

.

.

Di belakang kos, Anthoni duduk bersandar pada pohon sengon. Matanya sembab. Pipinya basah. Berkali-kali dia mengusap mata. Namun, air bening itu terus jatuh dan terus jatuh. Pengelihatannya jadi buram. Memindai lapangan sepak bola kecil yang berpenerangan lampu lima watt dengan beberapa anak sedang latihan di sana. Biasanya, Anthoni akan ketakutan malam-malam gini di tepi lapangan sendiri.

Dia pasti akan menjerit-jerit nama Arial. Ah ... mengingat nama Arial, batin Anthoni kembali menggigit. Sahabatnya itu kira-kira mau nggak ya menerimanya yang homo ini? Arial jijik nggak, ya? Arial malu nggak, ya? Arial mencampakkannya nggak, ya? Dan masih banyak lagi berbagai macam kemungkinan tentang Arial berkecamuk di kepala Anthoni.

Pemuda mungil itu semakin tergugu. Kedua telapaknya susah payah mengusap mata, namun, lelehan tangisnya terus meluncur dan meluncur.

"Maafkan kami, Dek Thoni."

Anthoni berjengit. Menoleh ke sumber suara. Om Patrick diterangi cahaya remang-remang dari lampu neon yang tergantung tak jauh dari pohon sengon, terlihat mendekatinya. Anthoni menggeser pantat, mempersilakan Om Patrick duduk di sampingnya.

"Nggak seharusnya Theo berucap seperti itu. Om sungguh menyesal terhadap perilakunya."

Isakan Anthoni yang menjawab.

"Dan Om juga meminta maaf atas perilaku Om tadi pagi. Nggak seharusnya Om menyinggungmu hanya karena kamu memiliki orientasi yang berbeda. Seharusnya Om terbuka dan menerima keadaanmu apa adanya."

Masih isakan Anthoni yang menyahut.

"Om sudah tahu latar belakang pendidikanmu."

Anthoni menoleh kepada orangtua seksi tersebut.

"Om tidak tahu kenapa kamu menghentikan pendidikanmu selepas SMA, dan baru mau melanjutkan kuliah tiga tahun lalu."

Anthoni nggak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Dadanya bergetar. Bagaimana dia?

"Yang Om tahu, baru tiga tahun kamu kuliah, kamu udah hampir menyelesaikan skripsimu. Nilai IPK-mu juga selalu memuaskan selama ini. Itulah mengapa Om bersikukuh menjadikan kamu sebagai tutor buat anak saya."

Anthoni menggeleng. Air matanya belum mau berhenti. Aroma minyak telonnya masih mendominasi. Dia menarik napas panjang, menghelanya kemudian.

"Saya nggak mau mengajari anak, Om," Anthoni mengucapkannya di antara isak tertahan. Lengan piyamanya basah karena keseringan digunakan untuk menghapus air mata yang ajaibnya nggak mau diajak berhenti.

"Kamu sudah menandatangani kontrak itu, Dek Thoni. Satu milyar, apa kurang?"

Anthoni menggeleng. "Anak Om, menyakiti saya."

Teach Me to Love as (Gay)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang