Rain's Lullaby

572 15 0
                                    



"Hey sudah sampai!"

Aku membuka mata. Udara yang kuhirup sangat berbeda sekali. Dingin. Perutku terasa beku dan hidungku juga, pun telingaku berdengung dan dadaku sesak.

"Yuk masuk!" lalu dia keluar mobil dan membukakan pintu untukku.

Sebuah pondok sederhana dengan halaman penuh dengan pohon yang rimbun. Begitu pintu dibuka udara yang lebih hangat mulai menerpa wajahku. Lampu berwarna kuning yang menyala menambahkan suasana hangat.

* * * * *

Hangat.

Cahaya matahari menampar wajahku hingga terbangun. Seseorang telah membuka jendela rupanya, sejak kapan? Aku menggeliatkan tubuhku dan berusaha bangkit dari rasa malas. Udara yang sejuk begini sayang sekali kalau aku hanya terus terbaring disini.

Aku mencari tanda-tanda kehidupan di dapur. Tapi tidak ada nyawa disana. Kudapati sebuah nampan berisi segelas air putih, disampingnya terdapat sajian roti dengan selai kacang dan dua butir pil berwarna oranye juga tulisan 'eat me, Zie' dengan gaya seadanya.

Setelah menyelesaikan sarapanku, kembali ku telusuri tempat asing ini. Sampai ku dengar suara petikan gitar. Kuikuti, semakin aku melangkah suaranya semakin jelas. Seorang pria duduk di kolam renang. Celananya digulung hingga sebetis dan kakinya direndam dikolam yang memantulkan cahaya mentari pagi. Berkilauan.

"Nicko!"

"Hey, sudah sarapan?"

Aku menganggukan kepalaku. Lalu melanjutkan langkahku semakin mendekat padanya. Kugulung juga celana denimku yang melekat sejak kemarin sampai betisku terasa terhimpit. Dan tepat disampingnya memandang langit yang sama.

"Enak ya disini, walaupun matahari mentereng tapi tetap sejuk."

Lalu dia tersenyum, "Tapi disini suka aneh. Kadang hujan mendadak."

"Enak dong bisa hujan-hujanan!"

"Enak tidur kalo hujan,"

"Enak makan mie instan tau!" ucapku tak mau kalah.

"Enak tidur! Itu yang paling enak. Tidur, selimutan."

"Minum kopi sambil nonton tv juga enak tuh kalo hujan."

"Pokoknya tidur! Itu paling nikmat."

Dan akhirnya aku mengalah, "OK! Tidur lumayan juga."

* * * * *

Aku membawa dua piring asinan. Katanya asinan Bogor itu terkenal. Jadi begitu aku lihat tukang asinan lewat buru-buru aku ambil piring dan berlari kearahnya.

Pria itu masih di posisinya sejaak tadi. Memetik gitarnya, kadang memberi jeda dan menulis entah apa pada selembar kertas.

"Hey, snack sore!" aku meletakan kedua piring diatas meja kayu bundar di beranda rumah tempat kami bersantai sejak tadi.

"Eits! Awas kena nih!" dia menarik kertas yang tertindih piring asinan. Kertas yang sejak tadi cukup membuatnya sibuk.

"Ayo, dimakan!"

Dia menyerahkan kertas tadi padaku dan menyibukan dirinya dengan sepiring asinan. Pun diriku tidak menggubris kertas itu. Asinan ini lebih menarik perhatianku.

"Sudah dibaca belum?!"

Aku mengalihkan pandanganku keararhnya. Dalam hitungan beberapa menit saja dia menyelesaikan sepiring asinan. Ckckck.. piringku saja masih tersisa setengah.

Sad StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang