Sad Song

973 16 4
                                    


Aku memandang langit cerah pagi ini dari balkon lantai dua vila mewah milik Nicko. Tersenyum memandang mereka yang sedang bersenda gurau di kolam renang.

Aku menolak ajakan mereka untuk berenang pagi ini dengan alasan kurang enak badan. Dusta. Harusnya aku mengatakan tidak enak hati saja!

Sudahlah! Aku tidak ingin menodai kebahagiaan sahabatku. Dulu aku adalah orang nomor satu yang selalu tahu tentangnya. Dulu aku adalah satu-satunya perempuan yang tahu betapa menderita hidupnya. Dia bertahan dengan poker face-nya dan menyembunyikan segala keluh dengan senyumnya.

Ternyata ada banyak hal yang telah terlewat darinya kini. Aku sangat penasaran bagaimana mereka saling mengenal dan jatuh cinta.

"Zie!"

Aku tersentak dan segera membalikan tubuhku ke sumber suara.

"Kamu udah baikan?" tanya pria itu dengan pakaian renangnya.

"Iya Roy,"

Pria itu melangkah mendekat dan melempar pandang ke arah bawah.

"Jadi kamu patah hati?"

Wajahku mendadak menjadi hangat, "Entahlah. Tapi Merlyn pantas untuk semua itu."

"Kamu selalu mengalah buat dia,"

Aku terdiam memandangi mereka yang sedang bersenang-senang. Tentu saja aku akan selalu mengalah darinya. Dia sahabatku, dia seperti saudaraku. Satu-satunya keluarga yang aku punya.

"Dan juga buat lelaki itu!" Telunjuk Roy tepat menunjuk ke arah Nicko.

"Zie!" kali ini dia menggenggam tanganku. "Kamu pernah menolakku demi Merlyn dan meninggalkanku demi Nicko. Sekarang mereka berdua sempurna hancurin perasaan kamu."

Dadaku terasa sesak. Jantungku seperti berhenti berdetak. Apa-apaan Roy ini?! Dia berusaha mengkambing hitamkan hubungan mereka.

"Untuk yang ketiga kali," dia memberi jeda dengan napas panjang. "Be my woman?" dia berlutut dihadapanku.

"Bangun Roy!" aku melempar pandanganku ke arah sebelumnya. Menyaksikan mereka yang sedang bersenang-senang. John juga terlihat sangat dekat dengan Merlyn. Ah aku rasa semua lelaki di dunia akan berusaha mendekati dara cantik itu. A perfect woman.

"Kamu menolakku lagi?" dia memandang ke arahku. "Atau mau lari lagi jauh-jauh dariku lagi? "

Aku membalas tatapannya. "Aku tidak pernah berlari sejauh yang kamu pikir, tapi kamu selalu berhenti dan terdiam" tatapannya terasa begitu dalam. "Kenapa tidak kamu lanjutkan!?" balasku mantap.

"I did. But never work!"

Aku tersenyum dan meninggalkannya.

* * * * *

"Zie pulang bareng lagi, yuk!" ajak Nick malam itu.

"Nggak usah. Temenku jemput."

"Oh pacarnya ya?" nada ucapannya jelas menggoda.

"Bukan kok,"

"Yaudah hati-hati" Ia meraih gitarnya dan berlalu.

Baru selangkah aku menjauhi pintu, sudah kutemukan batang hidung Roy dengan senyumnya ke arahku. Tanpa basa-basi ia membukakan pintu mobilnya untukku. Aku berusaha setenang mungkin mengatur napasku, tapi wajahku tak bisa menipu. Tubuhku terasa dingin, beku. Ya, aku gugup ketika itu. Andai bukan tentang Merlyn, aku tak ingin menemui pria ini lagi.

Dia berhenti di parkiran restoran fast food. "Katanya mau anter pulang?"

"Ada yang mau aku omongin tentang Merlyn. Dan aku yakin, kamu nggak akan izinin aku masuk ke rumah 'kan?"

Sad StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang