All Those Things We Never Knew

1K 21 7
                                    


Merlyn menjatuhkan dirinya di ranjang bercover biru muda, "Gue suka Roy."

Mendadak aku terasa terhimpit di kamarnya yang bahkan lebih luas dari tempat tinggalku.

"Tapi gue takut," lanjutnya menatap langit-langit yang bertabur stiker bintang.

Aku memutuskan berbaring disampingnya, juga menatap ke arah yang sama.

"Lo kok diem aja sih!?" Merlyn menarik lolipop yang sedari tadi menyangkut dimulutku.

Aku menelan ludah, manisnya karamel terasa getir melewati tenggorokanku.

"Zie, gue harus gimana?!" Tanyanya sedikit memaksa. "Apa gue tembak aja ya?"

"Jangan!!" Responku cepat.

"Kenapa,"

Karena Roy pernah menyatakan cintanya padaku dan aku menolaknya karena aku tau kalau kamu, sahabat terbaikku Merlyn menyukai lelaki itu. Aku tidak ingin kamu sedih ditolaknya apalagi kalau sampai Roy menjelaskan bagaimana perasaannya padamu. Kumohon jangan lakukan itu.

"Chezzy, nggak ada salahnya kan jaman sekarang cewek nembak duluan," dia bangkit duduk ditempat yang sama.

"Bukan itu, Lyn," aku diam sejenak mencari kata-kata yang tepat untuk kusampaikan padanya. "Kita lagi dimasa puber dan aku rasa perasaan kamu itu cuma hasrat ingin tau aja"

"Ya gue nggak ngertilah," wajahnya berubah murung.

"Lyn, kita ngomong pahitnya dulu ya."

Dia tengkurap disampingku dan memperhatikanku seperti memperhatikan guru yang sedang menjelaskan materi penting.

"Kalau kamu nembak Roy dan dia nolak kamu, bukan kamu aja yang sedih. Aku juga sedih dan mungkin Roy bakal jauhin kita setelah itu."

"Roy pasti nerima gue lah!" Protesnya.

"Roy itu respect banget sama kita kayak sodara. Dia menghargai banget persabahatan kita tau!!" Protesku tak mau kalah. "Lagipula kalau seandainya kamu jadian sama Roy terus aku harus jadi obat nyamuk atau jualan kacang gitu liatin kalian pacaran?!"

"Iya ya. Nggak ada bagus-bagusnya." Merlyn mengangguk-anggukan kepalanya. "Dan kalau gue pacaran ama dia, kemungkin besar gue sibuk sendiri sama dia dan kehilangan sahabat gue yang pinter ini."

Aku tersenyum padanya. Senyum yang menyembunyikan sebuah rahasia. Aku tidak ingin sahabatku terluka, apalagi oleh diriku sendiri.

"Lo adalah orang terbaik yang gue punya," dia membalikan tubuhnya dan kembali menatap langit-langit. "Bahkan lebih dari keluarga gue sendiri," tambahnya sambil menggenggam tanganku.

* * * * *

Dering telepon menyadarkanku kembali ke kantor.

"Selamat sore,"

"Sore Zie, bagaimana kabar disana?" Suara Bapak Direktur diseberang sana.

"Semuanya oke, Pak."

"Bagus kalau gitu. Nanti tolong email saya design mesin mixer yang baru ya. Coba tanya bagian teknik."

"Baik, pak!"

Ini pertama kalinya beliau telepon sejak meninggalkan Indonesia 3 hari lalu.

Aku segera mencari design mesin yang tadi pagi diberikan kepala teknik, men-scan dan mengirimkan kepada Beliau.

"Bu, saya pulang!" Teriak Mbak Melan dibalik pintu.

"Iya, Mbak!!" Teriakku mantap.

Segera kurapikan barang-barangku dan mematikan komputer.

Sad StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang