Day 2

73 13 11
                                    

Haifa menarik napas panjang sebelum akhirnya ia memutuskan untuk masuk ke dalam ruang kelasnya. Ini hari ke dua, tapi kenapa ia gugup sekali?

"Kak Haifa," panggil suara kecil yang diikuti derap langkah mendekat. Haifa menoleh, mendapati anak kecil yang kemarin menatapnya dengan sinis.

Sekarang pun sama. Anak kecil itu masih menatapnya dengan sinis. Haifa menelan ludahnya, "kenapa Ver?"

"Gak usah sok dekat kak, panggil aja Baiq," tukas Aver menatapnya dingin. "Cuma mau ngasih tau, kalo Kak Haifa kedapetan piket hari ini."

"Oh. Gitu."

Aver memutar bola matanya malas, ia menoleh. "Kak Raaaaaann, lama banget sih."

"Iya-iya sabar." Ran kini setengah berlari menghampiri Haifa dan Aver dengan senyum di wajahnya.

"Pagi Haifa," sapa Ran tersenyum sopan. Sebuah cubitan mendarat di lengan lelaki itu, membuatnya meringis kecil. "Kenapa sih Ver cubit-cubit."

Aver mengerucutkan bibirnya. "Ayo masuk Kak."

Ran menghela napas, sambil mengikuti adik kecilnya itu. Haifa hanya bisa geleng-geleng kepala melihat teman sekelasnya itu.

***

Tak banyak yang Haifa lakukan di dalam kelas saat menunggu bel masuk. Ia hanya membaca buku novelnya sambil membolak-balik halaman yang sebenarnya sudah ia hafal di luar kepala saking seringnya ia baca.

"Woaahhh... Maze Runner, pinjem dong nanti," pekik seseorang yang kini duduk di tempat Fay yang belum datang.

Haifa belum pernah melihat anak ini sebelumnya, ia bergeming, menatap anak itu sedikit lama. "Boleh."

Ia yakin betul anak laki-laki yang ada di hadapannya ini bukan salah satu orang yang berkenalan dengannya.

"Ohiya, kamu Haifa kan? I'm Paul." Laki-laki itu membetulkan letak kacamatanya sebelum akhirnya tersenyum manis.

"Oh... halo Paul." Haifa tersenyum canggung.

"Wooo... Paul modus," teriak dua laki-laki yang kini berjalan ke arah Paul dan Haifa.

Paul membenarkan letak kacamatanya lagi. Dengan suaranya yang berat itu ia berkata dengan lembut. "Pardon me?"

"Gak usah sok pardon pardon ah. Biasa juga ngomong medok," cibir salah satu laki-laki.

"Ha? Oh ya?" Paul memutar bolamatanya malas. "Nilai bahasa inggrisku paling tinggi di sini, maaf-maaf aja ya Ilhamku sayang."

"Iyadeh yang jenius bahasa asing," ucap laki-laki satunya.

"Terserahmulah Chan." Paul berdiri dari kursi sebelah Haifa.

"Tapi bagus juga loh, Chipmu itu."

Haifa yang tidak mengerti apa-apa otomatis pusing mendengar ucapan mereka. "Kalian ngomongin apa sih?"

"Kamu gak tau?" Laki-laki yang bernama Ilham itu mengernyit. "Kita itu--"

Ichan segera menyikut Ilham dengan keras, membuat laki-laki itu memekik dengan keras. "Biarin aja Ilham suka ayan."

"Dah, Haifa, sambung lagi ya kapan-kapan." Paul melambaikan tangannya, menyeret Ilham dan Ichan pergi.

Haifa mengernyit. Sebelum akhirnya melanjutkan bacaannya.

***

"Ilham, balikiiin," teriak anak perempuan itu dengan keras. "Sebentar lagi bel masuk."

"Gak mau," cibir Ilham menyembunyikan gelang di balik badannya.

"Sasqiaaa," teriak gadis itu mengadu. "Ilham iseng nyembunyiin gelang Finka."

Ilham sontak melempar gelangnya ke meja Haifa yang kebetulan berada di dekat situ. "Ah curang, mainnya ngadu."

Haifa mengambil gelang yang ada di atas mejanya, mengamatinya sejenak. Bentuk gelang itu aneh. Seperti kabel charger ponsel miliknya. Gelang itu seketika direbut oleh si pemilik, Finka.

Gadis itu menyembunyikan gelang itu di balik tubuhnya, tidak membiarkan Haifa melihat. "Jangan sembarangan pegang punya orang lain."

Haifa jadi amat merasa bersalah. "Maaf."

Finka melenggang pergi tanpa kata-kata.

***

"Sepertinya target sudah siap untuk di operasi," ucap seorang perempuan dengan rambut panjang bergelombang. Disamping kanannya berjejer empat orang wanita yang juga memasang pose yang sama seperti dirinya, berkacak pinggang. Mereka berlima mengenakan seragam putih yang menjuntai ke bawah.

"Kurasa juga iya, sudah dua hari ia masuk kelas, seharusnya praktek sudah dapat di jalankan. Gimana Sas?" Perempuan dengan rambut pendek mengangkat dagunya ke arah Sasqia sambil tersenyum miring.

Sasqia menelan ludahnya. "Aku pikir juga begitu."

"Ta-tapi dia masih sangat polos." Perempuan di samping Sasqia angkat bicara.

"Bella, diam kau. Kami berlima tidak menanyakan pendapatmu," bantah yang paling kiri dengan wajah angkuh.

"Ma-maaf, tapi--"

Perempuan yang paling kiri mengeluarkan ponselnya, melambai-lambaikannya di depan Bella, "kami punya ini, jangan pernah membantah."

Bella menunduk, beberapa detik kemudian ia tersungkur sambil mencengkeram lehernya sendiri mencoba melepaskan jeratan semu yang rasanya membakar tenggorokan. Sasqia menelan ludahnya, tidak berani menoleh kepada saudari kembarnya yang tengah meronta-ronta.

"Fay," panggil salah seorang perempuan di antara lima orang berseragam putih. "Bawa Haifa kemari, operasi akan dilaksanakan hari ini juga."

Fay yang sedari tadi hanya diam mendengarkan, kini membeku. Dengan perlahan anggukan keluar dari kepalanya.

***

Haifa yang tengah bercanda dengan Jessita, Nita, dan Aya di dalam kelas membuat Fay merasa tidak enak. Gadis itu berdiri di depan pintu, mematung. Menatap Haifa dengan miris.

"Lho, Fay? Ngapain kamu berdiri di depan kelas? Bentar lagi bel lho," ucap Paul menepuk pundak Fay.

Fay mendekatkan wajahnya dengan telinga Paul, membisikkan sesuatu yang membuat mata laki-laki itu membelalak. "Kamu serius?"

Fay mengangguk lemah. "Aku akan terima resikonya."

Rahasia [AHAWFest]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang