11: Risau

6.7K 472 9
                                    

Happy reading!!! \(^v^)/

♡♡♡♡♡♡♡♡

Keberadaan BERKAH setelah masa NIKAH hanya hinggap pada pohon-pohon kokoh yang benih-benihnya dari keISTIQOMAHan menjaga FITRAH.

♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡

"MasyaAllah. Barakallah ya, De. Semoga segalanya diberi kelancaran dan kemudahan oleh Allah sampai akadmu nanti," pekik Ratna. Wajahnya berbinar saking senangnya. Gerak tubuhnya pun refleks merangkul Aisy disampingnya.

Sejak malam itu, malam sepulang Aisy dan ayahnya dari Banjarmasin. Statement ayahnya yang mengatakan bahwa ia telah dipinang oleh seorang lelaki mapan plus sholeh (dari neraca ukur ayahnya) membuat pikirannya melalang buana, terlalu banyak yang ia pikirkan sampai fokusnya hilang entah kemana. Sementara ayahnya sudah ambil langkah seribu unyuk menerima pinangan lelaki. Duh, bahkan saking tak mampu fokus, nama pun Aisy sampai lupa menanyakan pada ayahnya.

Dan kini, segala uneg-uneg yang menyumpal hati dan pikirannya perlu dibagi pada seseorang. Dan pilihannya jatuh pada Ratna. Lagi. Selalu.

Hanya Ratna yang bisa membuatnya bicara jauh. Bahkan ia tak bisa sedemikian vokal pada ayah, bunda bahkan Sisi, adiknya. Bukan karena tak dekat, malah mereka sangat dekat. Tapi Aisy terbiasa menjadi sosok yang selalu 'stabil' didepan keluarga tercinta. Dan karena ia memang bukan orang yang pandai mengungkapkan sesuatu dengan bicara. Tapi pada Ratna berlaku hukum yang berbeda.

Aisy ragu membalas keriangan Ratna. Ia masih bingung bersikap. "Mbak, waktu dulu Mbak Ratna sama Mas Faris prosesnya gimana? Emm... maksud Ayi, apa kalian tuker biodata?"

"Iyaa... sebelumnya Mbak nggak kenal sama Mas Faris," sahut Ratna, bernostalgia, nggak sadar topiknya mulai nikung.

"Berarti ada proses ta'arufnya ya Mbak? Nadhor juga ya berarti?"

Ratna mengangguk mantap. Senyumnya tersungging malu-malu. "Iyalah, Yi. Emang seperti itu proses setelah tuker biodata.... kamu kayak nggak tau aja," jawab Ratna. Mulai aneh dengan sikap Aisy. "Lalu apa hubungannya denganmu yang dikhitbah si Fulan itu, De?"

Aisy agak geli mendengar panggilan yang diberikan mbak Ratna, si Fulan, ketahuan banget mereka nggak tahu nama calonnya.

"Aku cuma takut, Mbak..." raut sendu diwajah Aisy terbaca dengan mudah.

Ratna mendelik. "Takut?"

Aisy mengangguk pelan. "Iya, Mbak. Takut proses yang Ayi lalui ini nggak berkah... "

"Dari mana kamu tau kalau itu nggak berkah?" Selidik Ratna, heran dengan jalan pikiran Aisy yang tak biasa.

"Entahlah, Mbak." Tak pernah Ratna mendapati nada kepasrahan seperti ini sebelumnya dari seorang Aisy.

"Aisy cuma merasa, kami sedang meloncati proses yang seharusnya," sambung Aisy, masih dengan nada putus asa yang sama.

Kedua alis Ratna nyaris saling berdempet. "Maksudmu? Nadhor dan ta'aruf?"

Aisy melenguh pelan. Tapi tak cukup mampu disembunyikan. "Iya, Mbak... Ayi rasa, tanpa proses itu Ayi merasa ada hak-hak kami yang tidak terpenuhi. Manalah ia bisa mengukur kepantasan Ayi untuknya.... "

"Dan kamu melupakan peran ayahmu, De..." tambah Ratna, mulai gemas. Tapi ia memaklumi, namanya juga sindrom pranikah. ia bahkan dahulu lebih parah, karena harus menanggapi tanggapan orang disekitar yang mengatakan padanya bahwa ia menerima pinangan lelaki seperti membeli kucing dalam karung. Bahkan ada yang mengira ia kebobolan, alias hamil duluan.

LOVE GUIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang