28. Amplop Putih dan Kepergian(mu)

4.9K 384 33
                                    

"Kamu kok ngeyel atuh Ayi. Kan udah dibilang suruh rebahan."

Pagi-pagi sekali Harris ke kamar Aisy, setelah ia kemudian memutuskan untuk menginap selama beberapa hari sampai Zaky kembali. Tapi yang didapatinya malah ibu hamil muda yang seharusnya bedrest itu justru tengah duduk di kursi kayu di pinggiran balkon.

"Ayi nggak jalan-jalan Abang. Ayi cuma duduk disini. Ayi bosen rebahan. Badan Ayi ngilu kalau rebahan terus."

Harris mengalah untuk kali ini. Air muka Aisy sudah kelewat kacau untuk sekedar didebat. Ia pun ikut duduk di satu kursi yang lain.

"Barusan Abang liat bu Alya pergi. Abang mau nawarin nganter keburu beliaunya naik taksi. Kamu tau nggak beliau ke mana?

Aisy menggeleng. "Detailnya mama Ayla nggak bilang. Tapi katanya mau ketemu kerabat."

Harris manggut-manggut. "Itu, kenapa sarapanmu masih utuh?" Dagunya menunjuk nampan di atas nakas yang masih rapi dengan semangkuk bubur dan air putih. Utuh. Tak tersentuh.

"Nanti aja... Ayi belum laper."

"Kalau nanti itu namanya makan siang. Bukan sarapan. Lagian sekarang yang kamu pikirin bukan dirimu sendiri loh."

"Nanti yaa, Bang. Ayi mual."

Harris melenguh. "Ya udah..."

"Bang... "

"Hmm..."

"Kita ke kantor mas Zaky yuk..."

Wajah Harris serta merta mengeras. "Kamu jangan mulai aneh-aneh deh."

"Ayi khawatir, Bang. Harusnya Mas Zaky udah pulang. Sementara dari kemarin nomor Mas Zaky nggak aktif. Mas Said yang juga berangkat dengan mas Zaky pun nggak bisa dihubungi."

Harris mendekat, merangkul pundak Aisy sebelum air matanya luber.

"Nanti Abang aja yang ke Meet Housenya ya... Kamu tetap di rumah, tetap harus bedrest."

***

Napas Said sempat tersangkut di tenggorongan saat menemui tamu Zaky di ruangannya. Nyalinya belum cukup berani untuk sekedar membalas tatapan elang seseorang yang dianggapnya ibu.

Said merutuki dirinya, saat tadi tak lebih dahulu menanyakan perihal nama tamu Zaky pada Ikke, pikirnya hanya sebatas klien yang sempat ngamuk karena jadwal meetingnya yang dibatalkan oleh Zaky.

"Se-selamat pagi, Tante Ayla. Apa kabar?" Said mendadak gagap menyapa tamunya setelah beruluk salam dan mempersilakan duduk. Sepasang mata dihadapannya ini kentara sekali tak ingin beradu canda. Said mawas diri.

"Alhamdulillah. Tante baik. Oh, setidaknya rasa kecewaku tak cukup mempengaruhi kesehatanku kali ini."

Said menelan ludah. Feelingnya cukup kuat untuk sekedar menebak arah pembicaraan ibunda Zaky. Intronya saja sudah sepedas ini.

"Kenapa Tante sampai berkata demikian?"

"Kamu sendiri bagaimana, Said? Apakah benar-benar tak ada yang ingin kamu sampaikan pada Tante terkait Zaky? Tante tahu dari sekretarisnya, seharusnya dia sudah pulang sejak kemarin lusa, bersamamu. Tapi sampai saat ini nomornya tidak aktif juga."

Sekali lagi. Said menelan ludah. Kerongkongannya mendadak tandus. Ia mengomel dalam hati pada Zaky yang membuatnya bersikap serba salah seperti saat ini. Kalau sampai bertemu muka, Said bertekad pada dirinya sendiri untuk setidaknya memiting leher Zaky.

"Itu... Emm....." Said menggaruk tengkuk, gagal menemukan kalimat yang pas untuk diucapkan.
"Cukup katakan pada Tante. Dimana Zaky?"

Said menghela napas panjang-panjang. Udara di sekililingnya sudah seperti pasir. "Maaf, Tante. Untuk kali ini... saya benar-benar tidak tahu dimana Zaky. Kemarin lusa kami memang pulang bersama. Tapi sepertinya ada sesuatu yang membuatnya tidak jadi pulang ke rumah."

LOVE GUIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang