Seraya mendengus kesal sekaligus lelah, Lila menjatuhkan ranselnya di kursi ruang tamu. Ia membaringkan tubuhnya sejenak dan mengamati seisi rumahnya, lalu berteriak seraya memanggil mama dan kakaknya. Tapi ia tetap tidak mendengar sedikit suara yang meresponnya.
Ia berjalan ke pintu depan, menatap langit yang sering ia lakukan hampir setiap hari, menunggu kehadiran senja. Sepertinya tadi di jalan, ia melihat senja sudah datang, tapi di rumahnya, senja belum juga datang.
Senja sedang berjalan, dan jalannya lebih lama daripada aku, mungkin, batin Lila.
Ia sibuk mendongak melihat langit, bahkan mata yang sedang menatapnya saja tidak terlihat olehnya, atau mungkin ia tidak sadar dengan seseorang yang sedang mengawasinya.
"Nengok dong!" ucap pelan seseorang yang berada jauh dari tempat Lila berada.
Senja datang, ini dia yang ditunggu Lila. Entah sejak kapan ia jadi sering menatap senja, yang jelas setelah kepergian Guntur.
Seseorang yang masih berada di balik pohon dekat gerbang itu masih saja berdiri dengan mengawasi Lila. Laki-laki itu memakai kaos hitam dan celana jins yang sangat pantas dipakai--atau memang itu sudah menjadi pakaian seperti biasanya--tapi sangat tampan dipakainya.
Lila merasa ada yang mengawasi. Ia menajamkan dua pasang matanya untuk mencari siapa yang mengawasinya. Ia melihat seseorang di balik pohon itu.
Siapa dia?
Karena penasaran, bukan karena takut, tapi ia memang penasaran. Ia berjalan kearah gerbang rumahnya yang tidak jauh dari tempatnya tadi. Sosok itu semakin terlihat, dan ia menghela napas ketika tatapannya beradu dengan mata hitam sedang yang tidak asing baginya.
Begitu tatapan itu beradu, masa lalu yang hampir saja menghilang seakan telah datang lagi malam itu. Kenangan demi kenangan meledak dari ingatannya begitu saja. Masa cinta pertama, masa kesakitan pertama kali datang, dan masa dimana kebahagiaan itu terhempas. Bulan itu, amarah dan kekecewaan itu datang. Lila mengusir David dari kehidupannya, bahkan hatinya. Semua salah David!
David lebih memilih perempuan perebut itu daripada dirinya yang sudah berusaha mempertahankan hubungannya dulu. Konyol memang. Hal paling memalukan dalam kisah cinta sudah Lila lakukan dalam cinta pertamanya yaitu berjuang untuk laki-laki yang tidak punya hati.
"Sejak kapan lo disini?" Lila memulai prmbicaraan dengan memalingkan wajahnya.
"Mm...sekitar lima belas menit yang lalu." Ucapnya santai.
"Lima belas menit cuma buat ngawasin gue doang?" Lila tersentak dan menghela napasnya.
"Engga."
"Terus ngapain?"
"Liat gerbang, liat pohon, liat rumah lo juga, soalnya kangen sama pemandangan rumah ini,"
Lila melihat sekelilingnya, memang tidak ada yang berubah dari segalanya di rumah ini, "bilang aja mau liat Kak Aryo!"
"Nah!" David berjalan lima langkah dan berbalik, "Aryo di dalam?"
Lila mengangkat bahunya tanda tidak tahu. Bagaimana dia bisa tau, sejak pulang sekolah saja, ia hanya duduk, melepas lelah dan menatap senja dan terakhir menghampiri sosok tidak penting yang mengawasinya itu.
"Tunggu!" Lila berteriak melihat David hampir saja membuka pintu rumahnya dengan santai.
"Kenapa?" David menoleh.
"Sebelum masuk, gue mau nanya dulu,"
"Dari dulu ngga pernah berubah ya, Nov."
Nov?
Iya, Lila ingat. David memang beda dari semuanya bahkan mama, papa dan kakaknya. Ia memanggil Lila dengan panggilan 'Nov' . Lila tidak suka sebenarnya dengan panggilan itu, tapi, dia menyukai panggilan itu sejak David memanggilnya satu tahun lalu.
"Jangan manggil gue dengan panggilan 'Nov', oke?"
David menggaruk kepalanya, "emang kenapa, sih?"
"Gue ngga suka!"
"Tapi, dulu lo bilang suka banget sama panggilan itu karena gue yang manggil," ucap David tersenyum bangga.
Lila melipat kedua tangannya dan mendengus kesal, "itu satu tahun lalu, dan bukan untuk sekarang!"
"Lo kenapa pulang lagi, sih?" tanya Lila.
"Rumah, rumah gue, hidup, hidup gue, masalahnya sama elo apa?" David tertawa kecil.
"Yaudah sana pergi!" Lila membuka gerbangnya dan menyuruh David keluar, "sana deh, gue males liat lo lagi!"
"Gue bisa pergi sekarang, besok pagi mungkin balik lagi, hahaha."
Lila mengerutkan dahinya dan menutup gerbang itu lagi setelah melihat David sudah keluar dan berjalan lumayan jauh. Lila bingung atas perkataan David yang ingin menemuinya lagi. Tapi, Lila teringat, bahwa orangtua David memang tinggal di daerah rumahnya dan mungkin David akan tinggal disana lagi seperti dulu setelah kepulangannya dari London.
Lila memasuki rumahnya yang sepi dan menaiki anak tangga dengan langkah gontai. Sebelum memasuki kamar, ia melewati sebuah pintu bergambar macam-macam merk sepatu. Iya, kakaknya memang suka mengoleksi sepatu. Ia penasaran, apakah kakaknya ada di dalam atau tidak. Ia membuka pintu itu pelan dan ternyata--kamarnya berantakan sekali seperti tidak pernah dirapikan--ia tertidur pulas di atas kasurnya.
"Yaampun ini cowok malesnya kebangetan, ih," teriak Lila sengaja agar membangunkan kakaknya.
"Aryo!!" Lila menggoyang-goyangkan tubuh Aryo agar ia bangun, tapi tetap tidak bangun.
Lila mencari sesuatu di kamar Aryo tapi tidak menemukan apapun. Lila melihat handphone Aryo yang tergeletak dan muncul ide untuk menjahili Aryo. Lila tau, abangnya tidak pernah mengunci handphone-nya seperti kebanyakan orang. Lila membuka kamera dan mulai mengabadikan momen yang paling gila ini. Melihat pose abangnya yang tertidur pulas, ia memotret dan tersimpanlah sepuluh foto wajah abangnya yang terlihat sedang menikmati tidurnya. Ia ingin mengirimkan foto itu lewat LINE ke kontaknya agar abangnya tidak tau bahwa wajah jeleknya akan tersebar. Ia membuka LINE dan mencari nama Lila tapi tidak ada. Ia mencari nama Lila Novela dan tidak ada juga. Akhirnya ia mencari satu persatu di kontak kakaknya. Banyak banget, isinya cewek semua, batin Lila. Lila melihat sebuah kontak yang display picture nya adalah fotonya. Kontak itu berada pada barisan abjad J, nama kontak itu hanyalah tulisan JANGAN DIGANGGU. Lila tau, pasti itu adalah kontaknya dan diganti dengan sengaja oleh Aryo. Lila mengirimkan sepuluh foto itu ke kontaknya dan menghapus foto pada galeri Aryo. Finish!
Lila melihat pada barisan chat terpampang nama Tiara Viona yang artinya abangnya itu sudah lumayan dekat dengan Kak Tiara.
Lila menutup ponsel abangnya, "Bang Aryo!" Lila menjambak rambut Aryo dan mencubit lengan Aryo bahkan menutup wajah Aryo dengan bantal. Bahkan Lila sengaja menjepit hidung abangnya menggunakan kedua jarinya dan berhasil membuat abangnya itu terbangun.
"Bagus banget, Bang," Lila tersenyum sinis.
"Ini jam berapa?" tanya Aryo.
"Jam sepuluh malam!" Lila berteriak dengan wajah merah.
"Ha?" Aryo mengerutkan dahinya dan membuka selimutnya lalu berdiri, "gue mau jem-"
"Jemput gue aja lupa apalagi jemput Kak Tiara,"
"Darimana lo tau?"
Aryo mengambil handphone nya, "apaan baru jam tujuh malah bilang jam sepuluh," Aryo mencubit lengan Lila.
"Udah deket sama Kak Tiara, gue dilupain?"
"Dih alay, ih,"
"Bodo amat, gue bilangin mama nanti!" Lila keluar dari kamar Aryo.
"Baper banget, sih, Dek!" Aryo berteriak setelah Lila menutup kasar pintu Aryo.
Dasar manja, batin Aryo.
***
Jangan lupa senyum para pembaca!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Takdir
Teen FictionSenyum itu harus kudapatkan kembali. Senyum yang dulu pernah kuukir yang pernah kubuat sedemikian rupa. Dia adalah karya filsafat yang tak bisa kumengerti karna hanya kubaca. Tapi kesalahanku adalah hanya membaca dirinya saja tanpa dimengerti. Aku m...