[8] Kedai Levin

68 5 0
                                    

Lima langkah ia meninggalkan pintu kamar bernuansa stiker sepatu itu, tapi ia kembali teringat dengan sosok yang tadi ditemuinya. Ia membalikkan tubuhnya untuk menuju ke kamar itu lagi.

Tanpa mengetuk, ia langsung masuk dan melihat Aryo sedang tertidur lagi dengan mulut terbuka. Baru kali ini ia melihat sosok tampan Aryo membuka mulutnya lebar.

Lila terkekeh, "kalau jomblo mungkin tidurnya gini kali, ya,"

Lila membuka selimut yang dipakai Aryo dan menjepit hidung Aryo seperti yang ia lakukan pada lima menit yang lalu.

Aryo menarik tubuhnya keatas "duh...apaan lagi sih, Dek?"

"Gue mau ngomong!" Lila menggeser kaki panjang milik Aryo lalu duduk, "sumpah ini penting, lebih penting dari tugas Biologi!"

"Awas aja kalo basi," Aryo masih membenarkan tubuhnya dan mulai bangun dari posisi tidurnya.

"Tadi ada David!" Lila menatap Aryo serius.

"David yang mana? David Alberto? David Lucas? Atau David Mercon?"

Lila tersentak mendengar nama terakhir yang disebut Aryo, "David Mer...co...n?"

"Iya, temen satu kampus gue, Dek," Aryo terkekeh, "dia keren abis, Dek!" -Aryo mengambil handphone nya- "Keturunan Jerman sama Arab, lo bisa bayangin 'kan pasti gantengnya ngga jauh beda sama gue?"

Lila mendekati wajah Aryo dan memalingkan wajahnya menghadap jendela kamar Aryo, "kata Pak Rangi, meninggikan diri sendiri itu sama aja merendahkan ciptaan Tuhan."

"Meninggikan diri sebentar boleh aja, daripada meninggikan suara sampai 15 oktaf, hahaha."

Lila ingat saat dia marah, ia pasti meninggikan suaranya sampai puluhan oktaf bahkan membuat  orang yang mendengarnya pasti menutup telinga tak ingin mendengar bahkan menutup mata tak ingin melihat ekspresi paling ajaib saat Lila berteriak.

"Tadi David siapa, Dek?" Aryo memecahkan ingatan Lila.

"David...mmm...Da...vid...apa ya ngga tau gue lupa,"

"Tuh, suka gitu sih, suka basi,"

"Ih! David anaknya Tante Sinta yang rumahnya di komplek ini, Bang." Lila hanya mengingat nama Mama David.

"David! David Timoni?"

"Nah! David T-i-m-o-n-i!" Lila menekankan kata terakhir yang sejak tadi sangat susah untuk diingat.

"Dia udah pulang dari Korea?"

"Maybe," Lila bergidik.

Tawa Aryo pecah, "jadi alay-alay Korea dong?"

"Parah banget, sumpah!" Lila memecahkan tawanya juga, "ngga boleh fitnah, udah tau 'kan kalau fitnah lebih kejam daripada pembunuhan?"

"Masih aja,ih," Aryo bergidik.

"Lo liat dia dimana emang?" tanya Aryo.

"Tadi dia kesini, nyariin elo!"

"Nyariin gue?"

"Iya, sumpah gue kaget abis, Bang!"

"Tuh, 'kan, itu tandanya...dia berubah jadi alay Korea!"

"Ih, laknat banget mulutnya," Lila mencubit paha Aryo yang memakai celana futsal alaynya.

"Bukan laknat, eh, tapi seriusan 'kan dia berubah?"

"Engga, Bang, dia sama kayak dulu,"

"Sama kayak dulu, dulu yang ganteng, yang baik, yang perhatian, yang buat lo jadi luluh dan makin luluh bahkan tambah luluh, yang buat lo tau apa artinya c-i-n-t-a dan yang buat lo tau apa arti selingkuh, hahaha." Aryo menaikkan suaranya sampai 20 oktaf sepertinya.

Untuk TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang