Untuk sejenak, aku terpaku. Apa gadis ini gila? Ya, dia memang gila. Tapi, apakah ia benar-benar menyukaiku?
Entahlah, aku meragukannya. Evellyn memang suka bercanda. "Apa? Kau pasti menginginkan sesuatu. Ayolah, jujur saja. Aku tidak bisa dibujuk dengan rayuan," aku tergelak. Namun, tak seperti dugaanku, Evellyn justru terisak.
Apa-apaan ini? Menangis lagi? Aku sudah muak melihat Evellyn yang cengeng.
Di tengah tangisannya, Evellyn berkata lirih, "Ada yang ingin kukatakan padamu."
"Aku salah, Ains. Aku menurut saja saat Ayah menyuruhku berbuat seperti itu. Kau... kau hampir saja dimanfaatkan, Ains. Oleh ayahku, dengan diriku sendiri sebagai alatnya."
Aku tak mengerti. Barusan Evellyn menyatakan perasaannya, dan sekarang ia mengatakan bahwa
aku hampir dijebak oleh seseorang yang sama sekali tak kukenal. Ayah Evellyn, siapa ia sebenarnya?
"Aku tahu. Van sudah bilang tadi."
Ia kembali bersuara, "Tahukah kau, mengapa akhir-akhir ini aku sering menjauhimu? Oh, ya, maaf atas kelakuan kasarku yang lalu. Aku tak berniat melakukannya."
Sudahlah, aku telah melupakan kejadian itu, tapi dia justru mengingatkanku. "Memangnya, apa alasanmu?"
"Kuulangi, Ains. Aku menyukaimu. Dan aku tak mau kau jadi korban keserakahan ayahku. Aku mohon, jangan biarkan ia mendekam di penjara."
"Aku menyayanginya," lanjutnya.
Aku tak habis pikir, pria macam apa dia, yang menculik anaknya sendiri dan menjadikannya sebagai umpan. Aku tak tahu jawaban apa yang harus kuberi.
"Aku tak tahu. Aku yakin kabar ini sudah sampai ke telinga ayahku. Semua tergantung pada keputusan Ayah."
.
.
.
Aku tak bisa memutuskan, apakah aku merasa senang atau justru sebaliknya. Ayah Evellyn dipenjara dan aku tak terlalu memikirkannya. Yang terngiang di kepalaku adalah rencana kedua sang pembalas dendam.
Aku sempat menemui ibu Evellyn dan kami berbincang sejenak. Ia nampak letih menjawab pertanyaanku karena pada hari sebelumnya ia telah menjawab pertanyaan yang sama dari kepolisian. Sepertinya status saksi membuatnya sedikit tertekan.
Ia menjelaskan bahwa suaminya pernah memiliki perusahaan yang sukses. Namun, keternamaannya segera hancur tatkala perusahaan baru milik ayahku mengalahkan perusahaannya. Nilai sahamnya menurun drastis, ia pun berakhir melarat. Karena kekecewaannya tersebut, ia berambisi untuk membalas dendam pada ayahku. Tapi, lihat, ia gagal.
Namun, kurasa ia sudah mengatur rencana, sampai-sampai ia mempersiapkan "rencana kedua". Aku menanyakan perihal itu pada ibu Evellyn, tapi ia menolak memberi tahu dan menyuruhku untuk mengabaikannya. Ia berjanji tidak akan melakukan hal buruk seperti yang dilakukan suaminya.
Kau tahu, aku sudah tahu perasaan Evellyn padaku. Tapi aku mengabaikannya. Hei, kau tahu kan kalau Ainsley ini seorang yang payah?
Bertahun-tahun berlalu, aku telah menyelesaikan pendidikan SMA-ku. Aku merayakan hari kelulusanku bersama Vanilla dan keluarga kami. Sebenarnya kami juga mengundang Evellyn, tapi ia tak datang. Jujur, aku merasa kecewa, tapi aku bersenang-senang dengan Van sepanjang hari.
Hari berikutnya kami sekeluarga merencanakan tanggal pertunanganku dengan Van. Pada hari itu pula aku pergi ke rumah Eve
untuk meminta pendapat. Tapi, rumahnya kosong. Tiada Eve maupun ibunya. Aku berusaha mencari informasi dan menghubunginya, tapi gagal. Bahkan, William tak tahu di mana Eve berada. Sejak saat itu, aku kehilangan kontak dengannya.
Aku sadar, saat ia pergi, aku merasa kosong. Ketika Van berbincang padaku pun, aku tak memperhatikan. Aku hanya memikirkan Evellyn.
Jadi, aku memutuskan suatu hal dan aku memberitahukannya pada semua orang. Aku membatalkan rencana pertunangan. Tidak ada yang akan bertunangan.
Kini aku tahu bahwa aku yang payah ini, merindukan Evellyn. Aku berharap masih bisa melihatnya lagi, meski ia dalam keadaan menangis-seperti biasa. Bagaimanapun, tangisnya bagai lagu gerimis bagiku.
.
.
.
.
.
Aku masih ingat akan hari itu, saat aku berumur 25 tahun dan telah meneruskan perusahaan ayahku dengan sangat baik. Aku sudah dewasa.
Siang itu, aku tengah sibuk bekerja di kantorku. Sekretarisku menelepon, ia berkata ada seorang desainer dari Los Angeles yang ingin menemuiku. Aku pun memutuskan untuk meluangkan waktu.
Kau tak tahu betapa terkejut sekaligus bahagianya diriku. Yang datang menemuiku adalah Evellyn. Ya, Evellyn-ku!
Ia yang sekarang juga sudah benar-benar dewasa. Dandanannya tak terlalu feminim seperti ia yang dulu. Ia tampak tegas dan profesional.
"Selamat siang, Mr. Mason. Maaf telah menunggu lama."ucapnya sambil tersenyum penuh wibawa.Abby: hiiyaaa!!! Maaf, gaya bahasany udah beda sama yg setahun lalu, abby udah gak bisa pertahanin sifat aslinya si ains : '(
Gpp lah, yg penting udh clear. Kalau kamu suka tulisan abby sama arabella, jgn lupa voment and baca Lea in Lucretia, ya!
See you!
KAMU SEDANG MEMBACA
Drizzle Song
FanfictionFanfic collab tentang cinta dan intrik yang mendominasi. Enjoy, happy reading! Don't forget to vote and comment!