Chapter 5 : Awkwardness

56 9 0
                                    

Kami sampai di rumah. Dapat tercium dari baunya, bahwa ibu sedang memasak.

“Ibu..?” ujarku sembari menggandeng tangannya. Eh? Apa yang kulakukan? Tapi biarlah, aku akan mencoba(?).

“Ainsley kau sudah pulang, ahh,” sesaat sebelumnya, ibu melirik ke arah tangan kami yang bertautan.

Tapi Vanilla melepaskannya,”Hai, bibi Karen.”

Ibu tersenyum. Dan beliau mengisyaratkan, bahwa aku harus berganti. Aku menuju kamar, sesampainya, aku kembali melihat foto itu. Entah apa yang membuatku begitu tertarik.

“Ainsley, cepatlah!” teriak ibu. Aku pun bergegas berganti dan kembali ke ruang tamu.

“Ayo, nak. Kita makan siang bersama,” kata Ibu.

Ibu memasak banyak sekali. Walaupun, aku tahu beliau bisa saja memesan di restauran. Semua ini menggugah selera makanku, saat ini aku lapar sekali. Lalu kami makan. Kuperhatikan Vanilla, ia tampak manis, punya harga diri, dan tentunya pandai. Beda dengan si bodoh Evellyn, kau taukan tingkahnya selama ini. Vanilla sadar, jika aku mengamatinya. Ia tersenyum. Manis sekali.

Makan siang selesai, kami pun mengobrol di ruang tamu. Kemudian, ibu pergi karena panggilan dari kantornya. Akhirnya, aku dan Vanilla belajar kelompok, walau sejujurnya ia yang banyak mengajariku. Kuakui ia benar-benar pandai.

Malam tiba. Aku mengantar Vanilla pulang dengan jalan kaki. Rupanya rumah Vanilla tak begitu jauh. Sepulangnya, aku mengambil rute yang berbeda dari sebelumnya. Memang terasa lebih lama, tapi aku menikmatinya. Kuambil i-phone dan memasang headset ke telinga. Baru saja aku akan memilah-milah sebuah lagu, seseorang menabrakku, dari depan. Baik, tabrakan ini tidak membuat kami terjatuh, tapi berakibat pada i-phoneku yang tergeletak mati di jalan.

“Maaf, maafkan aku,” suaranya parau, seperti sedang menangis. Ia berjongkok untuk mengambil i-phoneku dan menyerahkannya. Sedari tadi ia selalu menunduk. Satu kata yang terpikirkan, aneh.

“Sekali lagi, maafkan aku. Dan lupakan semua ini,” ternyata ia seorang gadis. Setelah itu ia berlalu, melanjutkan perjalanannya. Tapi aku menahannya,”Evellyn?” Baru terpikir olehku, bahwa ia itu benar Evellyn.

Ia mendongak,”Lepaskan aku, Ains!” Wajahnya dipenuhi air mata. Setidaknya ia menangis bukan karena ulahku.

Bukannya melepaskan, aku malah semakin kuat menggenggamnya.

“Kumohon, lepaskan aku,” ia meronta-ronta sejadinya.

“Katakan padaku, kau ini kenapa?” Eh? Kenapa aku ini? Menjadi peduli padanya.

“Ini bukan urusanmu!”

“Setidaknya, beritahu aku apa yang terjadi?” Aku biarkan sajalah mulut ini berbicara.

Ia berhenti dari meronta. Mengambil napas dalam dan berkata,” Apa pedulimu, jika aku ceritakan semua yang terjadi? Toh, kau hanya memandangku sebelah mata! Lagipula, aku tahu kau ini hanya menilaiku sebagai seorang gadis bodoh, tak punya harga diri, aneh, dan masih banyak lagi! Serta ingat! kau bukan siapa-siapaku.”

Evellyn menyeka air matanya.”Jadi, lepaskan aku!”

Aku menurutinya. Ia lalu berlari menjauh. Ku menyadari bahwa semua pejalan kaki, memperhatikanku. Aku tak suka menjadi pusat perhatian, jadi aku bergegas pulang ke rumah.

Esoknya. Lemas rasanya berjalan ke kelas. Vanilla menyapaku. Aku tak membalas, bahkan menengok ke arahnya. Perasaanku kalut. Vanilla menghampiriku.

“Kau kenapa Ainsley?” suaranya lembut .

“Semuanya baik. Segeralah ke kelas, bel akan berbunyi,” Ia balas mengganguk dan berjalan ke arah kelasnya.

Evellyn belum berangkat. Apa ini ada hubungannya dengan semalam? Tapi bukankah kemarin ia terlambat .

Tiga menit sebelum bel. Evellyn datang dan segera duduk. Ia tampak berantakan. Ia mengucir rambutnya asal, kantung matanya terlihat jelas.

Bel berbunyi, Mrs.Shenna masuk.

“Pagi anak-anak. O ya Nona Scarlett, ayahmu menunggu diluar,” ujarnya. “Baik bu,” Evellyn bangkit dari duduknya. Pelajaran dimulai, ini tentang aljabar, yang benar saja. Aku tak pernah mengerti sejak Sekolah Menengah Pertama. Aku tak memperhatikan ,tiba-tiba Mrs.Shenna memberi soal dan harus dikumpulkan. Oh God! Aku benar-benar malas.

Evellyn kembali dan ia langsung memperhatikan soal yang ada. Herannya ia malah tersenyum, yang menandakan ia senang dengan soal itu.

“Hey Eve, bisa kau ajari aku tentang ini,” tuturku. Awalnya ia ragu, namun akhirnya ia mau mengajarinya. Lalu, selesailah soal ini dengan sukses. Bel berbunyi, menandakan pergantian mata pelajaran. Aku terkejut ketika yang datang ialah Mrs.Jane. Aku melupakan tugas itu.Bagaimana jika...

“Aku sudah membuatnya. Cantumkan saja berapa nomormu,” ujar Evellyn. Baik sekali, gadis ini. Kukira ia akan melalaikanya, karena ingin balas dendam. Ku tulis berapa nomorku, lalu tugas itu dikumpulkannya.

Saatnya pulang. Lagi-lagi hujan. Untung ada Vanilla yang membawa payung, ia mengajakku pulang bersama. Sekilas aku melihat Evellyn berlari ke arah seorang lelaki yang menunggunya. Lelaki itu masih muda, mungkin seumuran denganku. Aku ingin memperhatikan lebih jelas wajahnya, tapi Vanilla menarik-narik lenganku, jadi pulanglah aku ke rumah.

____.____

maap arabella lama update. aku makin bingung sama jalur critanya, monoton gitu..

tapi yang penting, keep reading:-)      vote+comment jangan lupa..

Drizzle SongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang