Prolog

710K 12.8K 479
                                    

Copyright @raatommo

***

Bayangkan gadis pemberani dan frontal sepertiku mendadak ciut saat duduk menghadapi Fiona—kakak yang menyayangiku tanpa syarat—saat kondisinya semakin lemah di setiap tarikan napasnya. Kepanikan bertambah, ketika keponakanku Tyler terus menangis seolah mengerti kalau hari ini mungkin adalah hari terakhir dia bisa melihat ibunya. Fiona mengangkat tangan yang gemetar untuk mengusap kepala Tyler.

"Tyler ... Sayang .... Sudah, cukup menangisnya," kata Fiona lembut, masih terlihat jelas cinta yang selalu ada di sosok itu. Setiap tuturnya penuh kasih, membuatku heran kenapa selalu orang seperti ini yang mendapat penderitaan.

Tyler semakin menangis dan mulai sesenggukan. Dia berusaha mengusap air matanya, walaupun setelah diusap, pipi tambun itu kembali basah oleh air mata.

Aku iri pada Tyler, bocah itu bisa mengungkapkan kesedihannya. Tapi aku? Sejak ayah meninggal, aku tidak pernah bisa mengungkapkan hal-hal seperti itu lagi. Air mata seolah  kering dan habis. Seperti saat ini, sesakit apapun hatiku, tidak ada air mata keluar, kecuali aku sedang menguap lebar.

Kutatap Fiona yang berusaha memeluk Tyler dan mengecup puncak kepalanya. Fiona menoleh ke arahku, berusaha tersenyum, tapi justru terlihat seperti rintihan menahan sakit. Hatiku hancur karena harus melihat saudaraku satu­-satunya sedang meregang nyawa setelah melahirkan si bungsu.

Fiona seolah bisa membaca pikiranku saat wajahnya kembali berusaha tersenyum. "Kematian itu pasti, Adikku. Tidak ada yang bisa menghindarinya. Kalau tidak sekarang, pasti nanti. Dan itu bukan salah siapa pun. Itu sudah takdir," napas Fiona tersekat. Aku langsung beringsut mendekat untuk menggenggam tangan kakakku erat­-erat. Matanya semakin sayu di tiap detik pembicaraan ini.

"Yang kusedihkan bukan pergi dari dunia ini, Fee," katanya serak, air mata mulai muncul di pelupuk matanya, "yang kusedihkan hanya Danika dan Tyler. Mereka harus tumbuh tanpa ibu ... seperti kita."

"Fiona "

Fiona tidak lagi menatap ke arahku ataupun Tyler. Mata se­warna samudra yang selalu terlihat memesona itu kini menatap lurus ke langit-­langit ruangan, dengan tarikan napas yang terus melemah.

Aku menatap resah ke arah kakakku. Tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku selalu jadi si bungsu, Fionalah yang selalu melindungiku. Dia selalu tahu apa yang harus dilakukan. Aku buta tanpa Fiona. Mati rasa tanpa kakakku. Tapi, aku pula yang meninggalkannya ketika merasa telah mampu berdiri sendiri. Sekarang aku kembali saat kakakku tidak akan pernah seperti dulu lagi.

"Dari kecil kau selalu yang paling berani dan dapat dipercaya," bisik Fiona pelan, "aku bangga punya adik seperti kau, Fee. Aku bangga," suaranya tercekat.

Hatiku makin sakit tiap kali suaranya terdengar. "Fee " Aku menatapnya lebih dalam. 

"Kutitipkan Danika dan Tyler padamu, ya?" 

Aku mengangguk, "Pasti kujaga." Pasti.

"Pergilah kalau memang sudah waktunya," bisikku. Fiona menarik napas panjang, "Liam "

Alisku menyatu, menatap bingung pada Fiona. Tepat saat itu Liam masuk ke kamar. Napasnya tersengal­-sengal. Dia masih menggunakan setelan kemeja dan jas yang terlihat tidak beraturan.

"Fiona ..." bisik Liam, seperti tidak percaya dengan kondisi istrinya. Liam masih di luar negeri saat Fiona melahirkan Danika. Dia langsung ke sini setelah mendengar kondisi kritis Fiona.

Tatapan Liam tidak berpindah dari wajah Fiona ketika dia menggendong Tyler dan mengusap pundak anaknya yang tidak lagi sanggup menangis itu. Dari mata Liam, aku bisa melihat betapa laki­-laki ini mencintai kakakku.

Fiona penyayang, lembut, dan cantik. Orang hanya perlu melirik sekilas untuk bisa jatuh hati padanya. Sedangkan aku? Bernapas normal saja sudah menyebalkan untuk sebagian orang. Kadang­kadang aku berpikir, apa ada laki­-laki yang akan melihat­ku seperti Liam melihat Fiona?

"Liam ..." suara lirih Fiona kembali terdengar. "Aku mencintaimu, Liam."

"I love you more, Beautiful. I love you more "

"Kupercayakan Tyler dan Danika padamu. Juga dengan Fee." Liam melirik ke arahku sebelum mengangguk.

"Ya, Sweetheart. Aku janji hanya yang terbaik untuk mereka," jawabnya lembut.

Fiona menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Dia mengulang prosesnya hingga helaan napasnya mulai terputus-­putus.

Liam memeluk Tyler erat-­erat. Punggungnya bergetar, dia menangis. Tyler menangis. Semua menangis kecuali aku. Hanya aku yang duduk tenang, tanpa air mata sekalipun hatiku serasa dikunyah serigala. Fiona kembali berusaha tersenyum. Beberapa detik kemudian, dia mulai menutup matanya. Monitor di sebelahku mulai berbunyi tidak beraturan.

Cepat, cepat, sangat cepat, lalu lambat, lambat, dan menghilang. Tidak ada yang lebih memekakkan telinga daripada bunyi panjang dari mesin itu.

Tim dokter masuk, tapi tidak terburu­-buru.

Sepertinya hal ini sudah terlihat jelas oleh mereka. Fiona pergi meninggalkan Danika, bayi yang baru berumur tiga hari. Tyler terlihat masih terlalu kecil untuk menghadapi kepergian ibunya—dengan ayah yang kelihatannya sangat terpuruk. Kata­-kata Fiona kembali terngiang di kepalaku.

"Dari kecil kau selalu yang paling berani dan dapat dipercaya." "Aku bangga punya adik seperti kau, Fee."

"Kutitip Tyler dan Danika padamu, ya?"

"Yang kusedihkan hanya Danika dan Tyler harus tumbuh tanpa ibu."

Tekadku bulat saat itu. Aku, Felicia Ann, akan menjaga mere­ka. Apa pun pengorbanannya.

 Apa pun pengorbanannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
LiFe (Preview)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang