Chapter 2

252K 8.4K 188
                                    

Hari­-hari berikutnya, kepalaku penuh dengan bayangan kejadian malam itu. Ketika Liam menyuruhku memikirkan keputusan ini matang­-matang—sebelum pergi begitu saja membawa Tyler. Jangankan ucapan ramah seperti 'Bye Fee, thanks sudah menjaga Tyler', melihatku saja dia tidak mau lagi.

Liam Wright seharusnya tetaplah suami Fiona Ann dan sekarang aku setuju menikah dengannya. Perasaan baru semalam aku hadir di resepsi mereka, lalu lihat apa yang saat ini terjadi? Dan yang lebih gawat lagi, otakku tidak mampu mengeluarkan solusi lain selain menikah dengannya. Liam benar, aku sudah tidak waras.

Aku berusaha tidur di kamarku—memandang lurus ke langit­ langit yang ditempeli stiker bintang bercahaya. Suara musik dari unit apartemen yang mengadakan pesta terdengar sangat nyaring, menemaniku terjaga dengan kejanggalan-­kejanggalan yang terasa seperti lelucon.

Ini keputusan tercepat yang pernah kubuat dalam hidupku. Ini memang gila. Tapi, aku yakin ini benar. Liam pun sama sekali tidak mengeluarkan penolakan keras seolah dia juga berpikir ka­ lau ini mungkin benar. Dia pasti juga sudah gila.

Sebenarnya aku tidak mau menikah sekarang. Aku masih ingin lulus dari Boston University, lalu mendapatkan gelar sebagai sarjana di bidang seni—dengan kehidupan yang masih bebas. Tapi, keputusan harus dibuat cepat sebelum kedua anak Liam menderita lebih lama. Mereka harus melanjutkan kehidupan

dengan suasana yang layak. Semuanya jadi pilihan, antara bebas dan janji, atau antara aku dan Fiona.Rasanya berat buat bertingkah egois pada saat yang paling menentukan seperti ini. Kalau saja perempuan yang dipilihkan ibu Liam adalah pe­rempuan baik, lemah lembut, dan suka menolong, mungkin aku tidak keberatan sama sekali.

Yang lebih mengkhawatirkanku adalah perubahan sikap yang akan terjadi pada Liam. Persis seperti ayahku dulu. Aku tidak mau kedua anak Liam memiliki pengalaman yang sama denganku. Se­jak kematian ibu, ayah mengabaikan Fiona dan aku. Tenggelam dalam pekerjaannya untuk mengubur luka di hatinya. Aku takut Tyler dan Danika juga akan mendapatkan kenangan­kenangan bu­ ruk dan tumbuh menjadi 'sampah' sepertiku.

Efek tidak bisa tidur nyenyak beberapa malam belakangan ini ternyata membuatku makin bodoh. Tidak ada satu pun perkataan dosen yang masuk ke kepalaku. Semuanya menguap sebelum sempat dicerna otak. Jarum jam terasa mengejek. Kalau tahu akan begini, lebih baik aku di kamar. Mengistirahatkan mataku yang sekarang terasa kering dan pedih diserang kantuk.

"Ok class, sampai jumpa di pertemuan selanjutnya. Pastikan kalian mengumpulkan laporan yang kuminta. Ingat kalian harus memiliki minimal nilai B untuk setiap mata kuliah sebagai syarat untuk berpartisipasi dalam acara pentas pengumpulan dana, bulan Desember nanti. Pastikan tidak ada yang gagal, paham?" Ujar laki­laki tua yang kami panggil Mr. Frederick itu sebelum dijawab serempak oleh seisi kelas. Aku mengerang frustrasi. Semua orang benci tugas pada akhir pekan. Kabar buruknya lagi, aku bahkan tidak tahu tugasnya seperti apa.

"Fee! Hai tunggu aku!"

Aku menatap wajah Jason yang semringah. Ia melambaikan tangannya penuh semangat, lalu berlari mendekat. Tubuh Jason yang jauh lebih tinggi dariku, bahkan jauh lebih tinggi dibanding Sam, membuatku perlu menengadah ke atas untuk bisa menatap wajahnya.

"Hai, Jason," sapaku malas.

Jason sepertinya tidak menangkap nada bosan dalam suaraku atau mungkin dia tidak peduli. Senyumnya tidak luntur sedikit pun.

"Kau mau satu kelompok denganku di tugas ini?" "Kelompok apa?" Tanyaku bingung.

Jason mengangguk, "Kelompok untuk mengerjakan esai. Yah, memang sih, Mr. Frederick tidak bilang perlu partner, tapi kurasa kita bisa saling bantu."

LiFe (Preview)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang